Politik dan Islam: Dua Sisi Mata Koin



Agama bukan hanya sekadar afinitas, melainkan agama adalah sesuatu yang dijalankan orang-orang secara publik maupun individu. Agama dalam politik berarti agama dapat mempengaruhi keadaan politik dan sistem yang dipakai suatu negara dimana setiap agama pasti mempunyai tata aturan dalam menjalankan setiap kegiatan sehari-hari termasuk dalam urusan perpolitikan.

Islam merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Pemikiran politik Islam bermula dari masalah etika politik, falsafah politik, agama, hukum, hingga tatacara kenegaraan. Tapi keragaman khazanah pemikiran politik Islam itu boleh dikatakan bermula pada pemikiran tentang hubungan agama dan negara. Islam tidak memisahkan persoalan-persoalan rohani dengan persoalan-persoalan dunia, melainkan mencakup kedua segi ini. Hukum Islam (syariat) mengatur keduanya, hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesamanya. Menyadari akan hal ini, umat Islam memerlukan kekuasaan politik sebagai instrumen yang vital bagi pelaksanaan nilai-nilai Islami.

Islam sebagai agama yang turun langsung dari Allah SWT melalui perantara seorang Nabi Muhammad SAW, islam bukan sekadar suatu agama, islam juga mencerminkan teori-teori perundangan-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang sederhana, islam merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan. Islam mempunyai metode tersendiri dalam sistem pemerintahan, perundang-undangan dan institusi. Dengan demikian, jelaslah bahwa islam bukan sekadar kepercayaan agama individual, namun islam meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen.

Muhammad Asad berpendapat bahwa suatu negara dapat menjadi benar-benar Islami hanya dengan keharusan pelaksanaan yang sadar dari ajaran Islam terhadap kehidupan bangsa, dan dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam undang-undang negara. Suatu negara dapat dikatakan sebagai negara Islam apabila ajaran Islam tentang sosio-politik dilaksanakan dalam kehidupan rakyat berdasarkan konstitusi.[1]

Dalam era Rasulullah SAW mencerminkan era persatuan, usaha, dan pendirian umat serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, mewujudkan replika masyarakat yang ideal untuk diteladani dan di tiru oleh generasi-generasi yang akan datang. Terdapat factor-faktor fundamental yang mendorong munculnya teori-teori politik secara lengkap. Di antara yang terpenting, terdapat tiga hal yakni, pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah SAW, kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem.[2]

Sistem yang dibangun Rasulullah SAW dan kaum mukminin yang hidup di Madinah, jika dilihat dari segi praktis dan diukur dengan variable-variabel politik di era modern, tidak dapat diragukan lagi bahwa sistem itu dikatakan sebagai sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama juga dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religious, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya, dan fundamental maknawi sistem itu. Islam merupakan suatu sistem yang dapat menyandang dua karakter sekaligus karena hakikat islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan rohani, serta mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat.

Terkait dengan universalitas nilai-nilai islam, pemisahan antara islam dan politik serta islam dipandang hanya sebagai agama yang mengurusi ibadah ritual individual semata dinilai menyempitkan islam bahkan merendahkan islam. Padahal, syariat islam yang mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan termasuk islam, lebih banyak dari pada mengatur ibadah ritual semata. Sungguh, ini merupakan penyempitan dan pengerdilan islam sebagai agama yang memiliki kebenaran mutlak dan universal (Rahmatan lil ‘alamin). Setiap muslim harus memandang politik sebagai salah satu aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang pelaksanaanya harus tetap mengacu kepada syari’at islam.




[1] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 139-140. 

[2] M. Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam (Kairo: Maktabah Darut Turaats, 2001), h. 25.
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment