Politik dan Militer Dalam Era Gus Dur

Terpilihnya K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden adalah hasil kerja keras kelompok poros tengah yang dimotori oleh Amien Rais, sebagai aktor politik Indonesia pasca Orde Baru. Kemenangan Gus Dur ini dianggap sebagai kemenangan umat islam. Selain itu juga posisi Amien Rais sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai ketua DPR dinilai sebagai kemenangan mutlak umat islam. Meskipun demikian, kabinet yang dibentuk Presiden Abdurrahman Wahid tidak dimonopoli oleh kekuatan islam melainkan merangkul seluruh komponen bangsa sehingga disebut kabinet Persatuan Nasional.

Selama kepemimpinannya yang hanya berlangsung 20 bulan (November 1999- Juli 2001), banyak kebijakan yang dikeluarkan oleh Gus Dur, diantaranya adalah upaya supremasi sipil atas militer yang selama lebih dari lima dasawarsa dikebiri sejak masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Pada masa Orde Baru, militer menjadi tangan kanan Orde Baru, bahkan militer merupakan tiga pilar pendukung utama berdirinya Orde Baru disamping Birokrasi dan Golkar. Hal ini ditandai dengan kebijakan dwi fungsi ABRI yang memberikan kekuasaan kepada militer untuk terlibat dalam setiap sector strategis disamping pertahanan seperti sosial, politik dan ekonomi.

Pemerintahan K.H. Abdurrahman Wahid melakukan banyak perubahan yang signifikan yang berkaitan dengan fungsi militer. Gus Dur secara perlahan mereduksi eksistensi militer dalam kehidupan sosial politik masyarakat. Berikut beberapa kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid terhadap eksistensi militer di Indonesia:
  1. Pemisahan TNI-Polri dengan dikeluarkannya Keppres No 89 tahun 2000, yang ditegaskan dengan ketetapan MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI-Polri.
  2. Penghapusan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakortanas) dan Penelitian Khusus (Litsus), melalui dikeluarkannya Keppres No. 38 tahun 2000
  3. Perubahan Kementrian Pertahanan dan Keamanan (Menhankam) menjadi Kementrian Pertahanan (Menhan) dengan sipil sebagai menteri pertahanan.
  4. Melakukan rotasi kepemimpinan tertinggi TNI dari biasanya dipegang oleh Angkatan Darat kemudian Angkatan Laut dan selanjutnya Angkatan Udara.
  5. Dicopotnya Jendral TNI Wiranto dari jabatannya sebagai Menkopolkam, karena dianggap terlibat dalam pelanggaran HAM di Timor Timur pasca referendum.
  6. Dihapuskannya posisi wakil Pangab.
  7. Rotasi perwira tinggi seperti dilakukannya pergantian posisi Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad).

Perlawanan banyak muncul dari kelompok militer, menurut mereka, presiden Gus Dur sudah terlalu berlebihan menghadapi militer, puncaknya terjadi perlawanan dari kalangan militer dengan adanya aksi menolak Maklumat Presiden dan dukungan atas sidang istimewa MPR tahun 2001. Penolakan  para perwira TNI terhadap mutasi perwira terutama dengan diangkatnya Agus Wirahadikusuma sebagai pangkostrad menggantikan Djaja Suparman, dan diberhentikannya KSAD Jendral TNI Endrianto Sutarto dinilai melanggar mekanisme Dewan Kenaikan Pangkat dan jabatan Tinggi (wanjati) yang sudah menjadi prosedur tetap pada setiap mutasi dan pergeseran posisi di tubuh TNI. Namun sejumlah pengamat mengatakan aksi penolakan tersebut merupakan taktik dan strategi TNI untuk kembali mencampuri ranah politik, hal ini seperti kata Amor Parlmutter bahwa semakin tinggi kedudukan seorang perwira militer, semakin ia bersifat politis.

Kebijakan supremasi sipil atas militer merupakan suatu keharusan bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di Indonesia, karena penataan peran dan fungsi sipil-militer ini akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan transisi demokratisasi yang di negara-negara maju dikenal dengan istilah civilian supremacy upon the military.

Gus Dur juga menerbitkan Kepres No 89 tahun 2000 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.Hal ini adalah realisasi dari upaya menempatkan TNI-Polri berada langsung dibawah Presiden. Keputusan ini ditegaskan dengan Ketetapan MPR/VI/2000 tentang pemisahan TNI-Polri. Pemisahan TNI Polri dinilai sangat penting dilakukan berhubung seringnya tumpang tindih tugas dan wewenang dua institusi militer tersebut, karena pembedaan tugas antara TNI dan Polri  dimana ditegaskan bahwa keduanya adalah alat negara, tugas TNI dalam bidang pertahanan dan Polri dalam bidang keamanan  dan ketertiban hukum, panglima TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, demikian juga Kapolri.

Upaya pengurangan hak-hak istimewa militer terhadap sipil yang dilakukan Gus Dur diharapkan mampu meningkatkan control sipil atas militer dan upaya mengendalikan prilaku represif oleh militer. Secara teoritis, Gus Dur berhasil mempertegas dikotomi antara kepentingan sipil dan militer, namun pada prakteknya, masih banyak yang harus dievaluasi dari implementasi  kebijakan tersebut, bukan hanya hubungan sipil-militer yang makun meruncing, tapi juga militer masih belum mau menyerahkan sepenuhnya urusan politik kepada sipil, hal ini ditandai dengan masih banyak personel militer, baik aktif lalu pension dini untuk terjun langsung pada ranah politik, maupun purnawirawan yang masih membawa aura militeristik kedalam urusan politik ketika mereka duduk pada jabatan-jabatan politik.
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment