Review Film: The New Rulers Of The World

Review Film: The New Rulers Of The World
The New Rulers Of The World adalah sebuah film dokumenter yang menceritakan bagaimana globalisasi berdampak kepada situasi ekonomi, sosial, budaya dan politik di Indonesia. Film yang di tulis oleh John Pilger ini membuka realitas akan invasi globalisasi yang melanda Indonesia pasca krisis tahun 1998 dimana Negara-negara dunia pertama beramai-ramai menginvestasikan modalnya di Indonesia yang bagi banyak orang diyakini akan mengentaskani kemiskinan dan mengurangi pengangguran. Akan tetapi realita yang terjadi di masyarakat sebaliknya, kemiskinan yang kian meningkat, kesejahteraan yang tidak merata dan pengangguran yang terus naik.

Film ini menceritakan bagaimana kondisi buruh pada perusahaan asal luar negeri yang membuka pabriknya di Indonesia seperti GAP, REEBOK, ADIDAS dan NIKE. Dengan upah kerja yang rendah, jam kerja yang tidak teratur dimana setiap orang dipaksa bekerja selama 36 jam, dan kondisi ruangan kerja yang tidak memenuhi standar kesehatan, mereka di paksa untuk memenuhi batas minimal produksi yang harus dicapai oleh masing-masing individu. Sangat ironis dimana para buruh diperas tenaga, fisik dan mental mereka hanya untuk mengisi kantong-kantong para konglomerat. Memakai tenaga kerja murah untuk mencapai keuntungan setinggi-tingginya adalah slogan dari para pemilik modal ini. Hal ini tentu membuat kita bertanya-tanya, apakah ini yang menjadi tujuan globalisasi?

John Pilger meliput film ini dengan cara membawa kamera tersembunyi dan berpura-pura menjadi konsumen untuk dapat menyusup ke dalam pabrik dimana dia mendapati realita yang sangat miris. Terdapat kurang lebih seribu orang dalam satu ruangan tanpa pendingin ruangan atau tanpa sirkulasi udara memadai yang tampak penuh sesak dan situasi yang tidak kondusif. 

Di bagian yang lain, John Pilger sempat mewawancarai Nicholas Stern, pimpinan bank dunia, dengan maksud untuk menanyakan bagaimana proses terjadinya utang luar negeri yang diberikan oleh Bank Dunia kepada Indonesia dan hubungannya dengan pembantaian yang dilakukan oleh rezim orde baru demi terlaksananya globalisasi. Dikatakan bahwa apa yang diprediksikan para penganut globalisasi mengenai kesejahteraan masyarakat itu salah. Akan tetapi pada kenyataannya, globalisasi justru memperjelas bagaimana proses pemiskinan terjadi melalui penghapusan subsidi beberapa sektor pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Selain wawancara dengan pimpinan bank dunia, dia juga mewawancarai Stanley Fischer sebagai wakil direktur IMF (International Monetary Fund). 

Dalam wawancaranya, Pilger mengajukan pertanyaan mengenai kemungkinan dihapuskannya hutang yang sangat diharapkan oleh jutaan orang Indonesia dan diperkirakan dapat mengurangi kemiskinan. Sekali lagi, terungkap bahwa melalui rezim yang berkuasa, globalisasi yang didukung oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia banyak menciptakan pelanggaran seperti diskriminasi terhadap hak asasi manusia dan pencabutan subsidi tarif dasar listrik dan bahan bakar minyak yang akan semakin mempercepat proses pemiskinan.

Globalisasi tidak selalu berdampak positif, akan tetapi banyak juga dampak-dampak negatif yang timbul akibat arus kuat globalisasi dan disisi lain tidak di imbangi oleh kesiapan dari sumber-sumber daya manusianya secara kualitas yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan dari globalisasi yakni penurunan kemiskinan, pengangguran yang berkurang dan kesejahteraan meningkat. Rendahnya lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia tentu menjadi salah satu faktor penyebab masalah ini. Hasilnya banyak dari penduduk rela bekerja apa saja hanya untuk mendapatkan uang agar bisa mencukupi kehidupannya sehari-hari. Hal ini pun dimanfaatkan oleh negara-negara kapitalis untuk membuka pabrik-pabrik besar. Negara kapitalis tersebut mendapatkan keuntungan karena mereka mendapatkan tenaga kerja dengan jumlah besar tanpa harus mengeluarkan uang banyak untuk mengurusi kesejahteraan mereka. Dimana kesenjangan yang terbentuk di masyarakat akan menjadi seorang yang kaya akan kaya sedangkan yang miskin akan tetap miskin. Hal seperti jurang perbedaan yang sangat mencolok akhirnya dapat menghambat terjadinya integrasi sosial yang di sebabkan karena adanya perbedaan si kaya dan si miskin.

Dalam era globalisasi, masyarakat beserta institusi-institusi yang ada di dalamnya, tidak dapat lepas begitu saja fungsi dan perannya dari kekuatan pasar uang dan modal. Kedua elemen ini menciptakan suatu system baru yang mana modal financial menjadi variabel penting dalam perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Karena itu, merujuk pendapat kelompok hiperglobalis, globalisasi membangun bentuk baru organisasi sosial tanpa keikut sertaan negara-bangsa sebagai lembaga ekonomi dan unit politik utama dari masyarakat dunia karena kekuatan yang dimiliki oleh pasar uang dan modal lebih mempunyai daya intervensi lebih besar dibandingkan lainnya. Kuatnya konsepsi neoliberalisme dalam globalisasi yang bercirikan: Multilateralisme (lembaga keuangan internasional), dan Transnasionalisme yang berpijak pada mekanisme pasar, maka dengan sendirinya berlawanan dengan agenda penghapusan kemiskinan yang hendak dilakukan oleh siapapun, baik pemerintah nasional, badan-badan PBB, organisasi non-pemerintah, organisasi-organisasi charity, dan badan-badan keagamaan. Upaya yang mereka lakukan akan mirip “menabur garam di laut” selama neoliberalisme sebagai panutan. Fenomena ini terjadi karena kekuatan modal financial melampaui kekuatan patria akibat semakin diprivatkannya modal hingga kehilangan dimensi komunitas yang berujung pada personalisasi dan de-personalisasi modal.

Hilangnya sifat komunitarian pada modal dengan sendirinya akan berimplikasi pada pola interaksi antar manusia dan pola interaksi manusia dengan alam. Secara logis, hal ini berakibat berubahnya pola pandang mengenai relasi social dan relasi dengan alam yang menciptakan suatu hubungan homo economicus dalam segala bentuk aktivitas sehari-hari. Dari sini, penaklukan terhadap manusia lainnya, dan terhadap alam akan menjadi suatu hal biasa mengingat telah berubahnya formasi social yang telah lama eksis. Tidak akan dapat dipungkiri lagi, privatisasi tanah-tanah adat dan aset-aset nasional, eksploitasi hutan, kerusakan alam, dan pengusiran penduduk adat akan menjadi fenomena yang biasa terjadi di belahan bumi manapun.
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment