Konflik Palestina-Israel: Prespektif Teologis Hingga Politis

Konflik Palestina-Israel: Prespektif Teologis Hingga Politis
Berbicara tentang Israel dan Palestina, orang akan merujuk kepada perang yang tidak ada hentinya, pembantaian, blockade Tepi Barat dan Jalur Gaza serta Jerussalem Timur. Konflik Palestina dan Israel sudah berlangsung selama enam dasawarsa sejak para pegiat Zionis Yahudi memproklamasikan kemerdekaan Israel di tanah Palestina pada 14 Mei 1948. Yang terjadi sesungguhnya bukanlah konflik yang didasarkan atas agama, melainkan konflik politik, ekonomi, kemanusiaan, hukum, nasionalisme, dan keserakahan manusia. Setelah Kekaisaran Turki runtuh, Palestina dikategorikan sebagai daerah mandat LBB dan kemudian diteruskan PBB sebagai bagian dari trusteeship (perwalian). Inggris, sebagai pemegang mandat Palestina sejak tahun 1922, tidak mampu mengendalikan bentrokan yang terjadi antara bangsa Arab Palestina yang terdesak dengan imigran Yahudi yang semakin membanjir. Setelah mengalami proses yang panjang akhirnya Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi No. 181 (II) pada 29 November 1947 yang kemudian dikenal sebagai UN Partition Plan yang isinya menyetujui rencana membagi Palestina menjadi tiga bagian;
  1. Negara Arab, dengan wilayah Acre, Nazareth, Jenin, Nablus, Ramallah, Hebron, Jalur Gaza dan kota pelabuhan Jaffa.
  2. Negara Yahudi, dengan wilayah Safad, Tiberias, Beisa, Haifa, Tulkarm, Ramleh, Sahara Negeb dan Jaffa.
  3. Jerusalem dan Bethlehem sebagai wilayah di bawah pengawasan internasional
Keputusan PBB ini diterima Yahudi namun ditolak Arab Palestina yang menganggap pembagian tersebut tidak adil dan melawan kehendak mayoritas penduduk asli Palestina. Jelas Palestina tidak menginginkan pembagian wilayah sebab, letak negara itu tentu saja adalah tanah leluhur mereka yang pada saat itu merupakan tanah jajahan Inggris, karena secara leluhur mereka memilikinya tapi juga secara religius beberapa tempat keagamaan Yahudi ada disana. Meskipun tidak secara terbuka, negara-negara barat setuju dan mendukung (alasannya karena sebelum orang Palestina tinggal disana, tanah itu adalah milik Israel). Sebaliknya negara-negara Arab berargumen bahwa adalah karena Jerman yang melakukan genosida maka tanah Jermanlah yang harus disisihkan untuk dijadikan negara yahudi.[1]
 
Jerusalem yang berdiri kokoh di pegunungan Yudea adalah kota suci bagi tiga agama monoteistik: Yudaisme, Kristen dan Islam. Menariknya, sepanjang sejarah kota itu bahkan sampai sekarang, selalu berada di pusat pusaran konflik geopolitik, yang sekarang dimanifestasikan oleh Yahudi dan Palestina yang memperebutkan dominasi atas kota tersebut.
Baik orang-orang Yahudi, Kristen maupun Islam sama-sama mengklaim sebagai yang berhak atas kota Jerusalem. Orang-orang Yahudi mendasarkan klaimnya kembali ke peristiwa yang terjadi pada abad 11 SM tatkala raja Daud mengalahkan dan merebut kota itu; bagi umat Kristiani kesucian kota itu diperoleh dari kehidupan serta karya Yesus dan penyaliban, wafat serta kebangkitan-Nya di Jerusalem; sementara bagi umat Muslim, Jerusalem menjadi penting karena di kota itu Nabi Muhammad SAW ber-Isra Mi‘raj. Ia melakukan perjalanan malam dari Mekkah dan kemudian Mi‘raj ke Sidrat Al Muntaha dari kota itu. Kesucian Jerusalem telah menjadi daya tarik bagi ketiga agama monoteistik untuk mengerahkan kekuatannya ke kota itu sejak zaman dulu.[2]
Hal ini kemudian meluas tidak hanya konflik antara Israel dan Palestina melainkan konflik Israel dengan Arab. Hal ini di tandai dengan, Konflik bersenjata pertama antara Arab dengan Israel terjadi beberapa hari sesudah diproklamasikannya kemerdekaan Israel. Pada saat itu, Israel belum memiliki angkatan bersenjata yang resmi, dan hanya mengandalkan organisasi paramiliter seperti Haganah, Irgun, Palmach yang berjuang tanpa komando. Sementara bangsa Arab di Palestina juga mengandalkan organisasi paramiliter Futuwa dan Najjada. Namun setelah itu, bangsa Arab didukung oleh negara-negara Arab disekitar Israel seperti Irak, Yordania dan Mesir untuk mendukung perlawanan Arab terhadap Israel. Peperangan 1948 atau yang dikenal dengan nama Al Nakba dimenangkan oleh Israel, setelah selama lebih dari satu tahun bertempur. Berakhirnya perang Al Nakba ini ditandai dengan dibuatnya perjanjian perdamaian antara Israel dengan negara-negara Arab disekitarnya pada bulan Juli 1949.

Perang 1948 telah memunculkan persoalan pengungsi Palestina yang terusir dari kediamannya di Palestina. Sekitar 750.000 warga Palestina terpaksa menjadi pengungsi dan mencari perlindungan di negara-negara Arab.[3] Pada tahun 1967, terjadi konflik berikutnya antara Arab dan Israel. Israel yang telah mengerahkan kekuatan intelijennya ke seluruh wilayah negara-negara Arab, telah berhasil menghimpun informasi berkaitan dengan rencana negara-negara Arab untuk menyerang Israel. Israel melancarkan serangan pertamanya ke Mesir, yang dikhususkan ke pangkalan udara militer yang menjadi basis kekuatan Mesir dan selama 5 (lima) hari kemudian, Israel terus melancarkan serangan-serangannya ke negara-negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel seperti Yordania, Suriah, dan Lebanon. Perang yang dikenal juga dengan Six-Days War ini kembali dimenangkan oleh Israel, dan tidak hanya itu, Israel berhasil merebut wilayah Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Jerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan (Golan Heights) dari Suriah. Secara faktual, aliansi kekuatan militer negara-negara Arab jauh lebih besar dibandingkan dengan Israel. Namun Israel berhasil memenangkan peperangan dan berhasil mengubah peta geopolitik di kawasan Timur Tengah.

Perang 1967 lagi-lagi menghasilkan problem pengungsi. Sekitar 250.000 penduduk Palestina menjadi bagian dari gelombang kedua pengungsi Palestina, dan bergabung bersama penduduk Palestina lain yang telah berada di pengungsian. Orang-orang Palestina yang hidup di kamp-kamp pengungsian menghadapi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan yang paling dasar sekalipun. Mereka hanya bisa menggunakan air dan listrik jika orang Israel mengizinkannya, dan berjalan bermil-mil untuk bekerja demi upah yang amat rendah. Bagi mereka yang pergi bekerja atau mengunjungi kerabat yang tinggal di dekat kamp pengungsian,perjalanan itu seharusnya tidak lebih dari 15 menit saja.[4]
Proklamasi kemerdekaan Israel tepat sehari setelah berakhirnya mandat Inggris di Palestina yaitu pada tanggal 14 Mei 1948 yang kemudian diperingati oleh bangsa Palestina sebagai Hari Nakbah (hari bencana), merupakan puncak tercapainya cita-cita Kongres Zionis pada tahun 1897. Beberapa jam kemudian Presiden Truman mengakui secara de facto negara baru ini atas nama AS. Dengan kemerdekaan itu, cita-cita orang Yahudi yang tersebar di berbagai belahan dunia untuk mendirikan negara sendiri, telah tercapai. Mulai hari itu, milisi bersenjata Yahudi menggunakan momentum hengkangnya pemerintah protektorat Inggris dari wilayah Palestina dengan merampas sebanyak mungkin wilayah dan mengusir penduduk asli Palestina. Situasi kacau balau di Palestina saat itu memicu meletusnya perang Arab-Israel pertama. Agresi besar-besaran Israel kembali terjadi selama 22 hari sejak tanggal 27 Desember 2008 sampai 17 Januari 2009. Hingga hari ke sembilan, gempuran demi gempuran yang dilakukan Israel telah menelan korban lebih dari 400 orang tewas. Hingga hari ke sembilan, gempuran demi gempuran yang dilakukan Israel telah menelan korban lebih dari 400 orang tewas. Tindak biadab kaum Yahudi ini juga menyebabkan hampir 2.000 orang lainnya luka-luka serta sekitar 1,5 juta penduduk Gaza terancam kelaparan. Selain itu, serangan Israel telah merusak sejumlah infrastruktur di Jalur Gaza.[5]
Dewan Keamanan PBB akhirnya mengeluarkan resolusi terkait agresi brutal Israel di Jalur Gaza. Resolusi itu didukungan 14 anggota Dewan Keamanan kecuali AS, satu-satunya anggota Dewan Keamanan yang abstein atas resolusi itu. Resolusi tersebut menyerukan "gencatan senjata sesegera mungkin, yang berlangsung lama dan setiap pihak harus menghormati penuh gencatan senjata" di Jalur Gaza. Resolusi yang draftnya disusun bersama antara negara-negara Arab, AS, Inggris dan Prancis juga memerintahkan penarikan mundur pasukan Israel dari Gaza, namun tidak dijelaskan dengan detil kerangka waktu penarikan mundur pasukan Israel.



[1] Fery Subagdja, ―Penyebab awal Konflik Palestina-Israel‖, 1 Januari 2009, dalam
http://forum.lareosing.org/showthread.php?t=6958, diakses 10 juni 2014
[2] Trias Kuncahyono, Jerusalem: Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir (Jakarta:Kompas), h.130
[3] Lihat catatan, Tri Darma Yudha Prihot Nababan, ―Sejarah Konflik Palestina Israel‖, 22 April 2008, h.5
[4] Ibid., h.6-7
[5] http://metronews.com/index.php/metromain/newvideo/2009/01/03/73853/Jet-Jet-Tempur-Israel-Terus-Tempur-Gaza

Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment