Kotroversi DPR Tandingan: Rekonsiliasi Untuk Awal Dari Akhir

Paripurna Tandingan
Pada tanggal 31 Oktober 2014, DPR versi KIH ini menggelar rapat paripurna “tandingan” dan  resmi menetapkan lima pimpinan dari lima fraksi yakni PDIP, Hanura, PKB, NasDem dan PPP. DPR tandingan ini menunjuk Ida Fauziah dari fraksi PKB sebagai ketua DPR dengan wakilnya Effendi Simbolon  dari PDIP, Dossy Iskandar dari Hanura, Syaifullah Tamliha dari PPP, dan Supriyadi Aries dari Nasdem. Kehadiran pimpinan DPR tandingan ini justru membuat Presiden Jokowi akan kesulitan dalam menjalankan pemerintahannya. Pasalnya setiap kebijakan yang akan diambil selalu atas persetujuan DPR, lalu bagaimana presiden mau menjalankan pemerintahan jika legislatif saja pecah. Sebut saja penetapan APBN 2015 yang harus di selesaikan mengingat tahun 2015 sudah dekat.

Tanggal 2 November 2014, lima fraksi yang tergabung dalam KIH menggelar rapat konsultasi untuk membahas dan menentukan langkah yang harus diambil KIH selanjutnya setelah membentuk pimpinan DPR sementara itu. Dalam rapat tersebut setidaknya ada tiga agenda yang akan dibahas. Yang pertama mengenai alat kelengkapan dewan yang sudah dimasukkan fraksi KIH dalam paripurna yang digelar 31 Oktober lalu. Rapat juga akan membahas mengenai langkah KIH untuk mengirimkan surat untuk meminta susunan nama alat kelengkapan dewan kepada lima fraksi KMP. Kemudian yang terakhir, rapat akan digelar dalam rangka membahas cara untuk membangun komunikasi dengan KMP dalam rangka rekonsilasi.


Rekonsiliasi DPR: Awal dari Akhir
Pada tanggal 17 November 2014, hari bersejarah yang mungkin kelak akan dikenang sebagai hari dimana dualisme parlemen di Indonesia, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, kembali bersatu atau istilahnya rekonsiliasi. Gedung Nusantara IV DPR menjadi saksi islah kedua kubu tersebut. Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) sepakat berdamai dengan menandatangani nota kesepakatan bersama. Nota kesepakatan tersebut ditandatangani oleh kedua kubu, kubu KMP diwakilkan Hatta Rajasa dan Idrus Marham, sedangkan KIH diwakilkan Pramono Anung dan Olly Dandokambey. Dalam nota kesepakatan tersebut berisi lima poin kesepakatan[1] yaitu:
  1. Bersepakat dan setuju untuk segera mengisi penuh anggota fraksi pada 11 komisi. Empat badan dan satu Mejelis Kehormatan Dewan (MKD) sehingga secara kelembagaan DPR dapat segera bekerja sesuai fungsi-fungsinya secara optimal; 
  1. Bersepakat dan setuju dalam rangka mengantisipasi beban kerja dan dinamika ke depan, serta menyesuaikan dengan penambahan dan perubahan nomenklatur Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK (2014-2019), maka perlu untuk melakukan penambahan jumlah pimpinan satu wakil ketua pada 16 AKD, melalui perubahan pasal yang terkait dengan komposisi pimpinan komisi, pimpinan badan dan pimpinan MKD dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 dan perubahan peraturan DPR RI Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR; 
  1. Bersepakat untuk segera mengisi pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) yang masih tersedia (Banggar dan BURT), dan penambahan wakil ketua pada tiga AKD yang ditentukan secara musyawarah mufakat serta menabah satu wakil ketua pada setiap komisi, badan, dan MKD, sebagai konsekuensi dan perubahan UU MD3 tanpa mengubah komposisi pimpinan yang sudah ada sebelumnya; 
  1. Bersepakat dan setuju melakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal 74 ayat 3-6,  serta Pasal 98 ayat 7–9 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 serta ketentuan Pasal 60 ayat 2–4 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR untuk dihapus karena pasal-pasal tersebut secara substansial sudah diatur pada Pasal 79, Pasal 194 sampai dengan Pasal 227 Undang-Undang MD3 Nomor 17 tahun 2014;Bersepakat dan setuju bahwa hal-hal teknis terkait dengan pelaksanaan kesepakatan ini dituangkan dalam kesepakatan pimpinan fraksi dari Koalisi Merah Putih dan pimpinan fraksi dari Koalisi Indonesia Hebat yang dikatahui oleh pimpinan DPR RI, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kesepakatan ini.
Dalam rekonsiliasi tersebut, Koalisi Indonesia Hebat dikabarkan mendapat 21 kursi pimpinan di Alat Kelengkapan Dewan (AKD). Satu hari pasca penandatanganan kesepakatan tersebut, tanggal 18 November dilaksanakan sidang paripurna pertama setelah perdamaian antara kedua kubu. Dalam paripurna tersebut mengesahkan susunan nama anggota fraksi di alat kelengkapan dewan (AKD) yang diserahkan oleh kubu KIH. Serta pembacaan laporan badan legislatif (baleg) tentang rancangan peraturan DPR, tentang pengelolaan tenaga ahli, staf, dan administrasi anggaran. Dari lima fraksi KIH, hanya Partai Nasdem dan PPP yang telah menyerahkan susunan nama anggotanya lengkap untuk komisi dan AKD. Sementara tiga fraksi KIH lainnya, yaitu PDIP, Hanura, dan PKB baru menyerahkan susunan nama untuk keanggotaan di baleg dan badan urusan rumah tangga (BURT). Ketiganya baru akan menyerahkan seluruh nama anggota setelah revisi UU Nomor 17/2014 tentang MD3 selesai.

Meski sudah disahkan, sidang paripurna tersebut sempat diwarnai dengan interupsi. Fraksi KMP meminta pimpinan dewan untuk memberikan batasan waktu bagi KIH menyerahkan seluruh susunan nama di AKD.  Mereka meminta pimpinan dewan untuk tegas menetapkan batasan waktu. Alasannya, tiga fraksi itu terkesan belum percaya pada kesepakatan antara KIH dan KMP. Kemudian masih adanya fraksi yang belum menyerahkan nama secara lengkap menjadikan tindakan tersebut dinilai ada kesan ketidakpercayaan.

Analisis Subyektif
Menurut pandangan penulis sebagai warga negara Indonesia, jujur saya akui, maneuver yang dilakukan kubu KIH dengan melantik pimpinan DPR tandingan itu adalah sesuatu yang irrasional, inkonstitusional, dan terkesan memaksakan. Jelas sesuai dengan konstitusi yang berlaku, Setya Novanto secara sah dipilih sebagai ketua DPR periode 2014-2019. Tapi kenapa dengan kubu KIH ini? Terlalu kekanak-kanakan. Sesuai dengan apa yang dikatakan almarhum Gus Dur, DPR bak ibarat anak TK. Menginginkan segala sesuatunya menjadi milik dia sendiri. Tapi setelah menyadari bahwa kekalahan sudah di depan mata, dirinya menyangkal dan akhirnya membentuk tandingan yang sudah pasti inkonstitusional.

Dalam pendekatan Institusionalis pilihan rasional, yang termasuk dalam tujuh cabang New Institusionalism, dijelaskan bahwa institusi politik mempengaruhi perilaku dengan mempengaruhi ‘struktur dari suatu situasi’ ketika individu memilih strategi untuk mengejar preferensi mereka.[2] Jika dilihat dalam konteks kasus pembentukan DPR tandingan ini, maka bisa dijelaskan bahwa institusi politik, seperti parpol, mempengaruhi perilaku individu untuk demi preferensi mereka. Dalam hal ini, PDIP sebagai parpol yang berkuasa dalam KIH, dengan ambisinya menguasai parlemen, mempengaruhi anggota parpolnya dan terlebih fraksi di dalam koalisinya. Karena PDIP sebagai pemenang pemilu yang mempunyai suara lebih dari 20% sudah tentu mereka beranggapan bahwa dengan suara diperoleh dan kursi pimpinan yang di tawarkan meraka anggap tidak seimbang dari perhitungan yang semestinya. Pembagian kursi Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dan Komisi semestinya dibagi secara adil dan proporsional mengacu pada perolehan suara pemilu. Tapi apa yang terjadi tidak seperti bayangan mereka. Dari sejumlah kursi yang ditawarkan, hanya 6 yang ditawarkan kepada mereka, itupun harus berbagi dengan koalisi pendukungnya. Terlebih koalisi oposisi mereka, KMP, mempunyai suara lebih banyak atau dominan dibanding mereka. Maka dari itu, ambisi parpol pemenang itu mengantarkan mereka untuk mencari cara alternative dengan membentuk DPR versi mereka sendiri. Ini menunjukkan seperti dalam pendekatan Institusionalis pilihan rasional, institusi politik mempengaruhi perilaku dan struktur dalam mengejar preferensi atau dalam hal ini, ambisi mereka.



[2] David Marsh & Gerry Stoker, Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik. Penerjemah Helmi Mahadi dan Shohifullah (Bandung: Nusa Media, 2010), h.114.
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment