Paragidma Marketing Politik

Secara sederhana marketing politik berarti aplikasi kegiatan marketing di dalam ruang politik yang umumnya terkonsentrasi pada saat pemilu atau pilkada. Jika melihat definisi sederhana ini, maka sesungguhnya dalam praktiknya pelaksanaan marketing politik bukanlah hal baru, termasuk di Indonesia.

Pada dasarnya Marketing Politik adalah serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna Politik Kepada para Pemilih. Tujuannya membentuk dan menanamkan harapan, sikap, keyakinan, orientasi, dan perilaku memilih. Perilaku pemilih yang diharapkan adalah ekspresi mendukung dengan berbagai dimensinya, khususnya menjatuhkan pilihan pada Partai atau kandidat tertentu.[1]

Sejak Konsep marketing diutarakan Kotler ditahun 1972 mengemukakan bahwa marketing berlaku baik pada sektor publik dan non-komersial. Cakupan dari marketing ini sangatlah luas. Diungkapakan oleh Firmanzah (2004) bahwa pertukaran yang terjadi tidak saja pertukaran ekonomi, pertukaran ini juga dapat terjadi dalam konteks sosial secara luas, tidak hanya terbatas pada perusahaan swasta, tetapi juga pada organisasi sosial non frofit, museum, rumah sakit pemerintah, dalam bentuk pertukaran ide, norma dan symbol. Dalam hal ini, konteks politik pun dalam mengaplikasikan konsep dan teori marketing.Firmanzah meyakini bahwa marketing politik merupakan metode dan konsep aplikasimarketing dalam konteks politik, marketing dilihat sebagai seperangkat metode yang dapat memfasilitasi kontestan (individu atau partai politik) dalam memasarkan insiatif politik, gagasan politik, isu politik, ideologi partai, karakteristik pemimpin partai dan program kerja partai kepada masyarakat atau kontestan.

Marketing politik berbeda dengan marketing komersial. Marketing politik bukanlah konsep untuk “menjual” partai politik (parpol) atau kandidat kepada pemilih, namun sebuah konsep yang menawarkan bagaimana sebuah parpol atau seorang kandidat dapat membuat program yang berhubungan dengan permasalahan aktual.[2] Di samping itu, marketing politik merupakan sebuah teknik untuk memelihara hubungan dua arah dengan pubik.

Paradigma dari konsep marketing politik adalah; Pertama, Marketing politik lebih dari sekedar komunikasi politik. Kedua, Marketing politik diaplikasikan dalam seluruh proses, tidak hanya terbatas pada kampanye politik, namun juga mencakup bagaimana memformulasikan produk politik melalui pembangunan simbol, image, platform dan program yang ditawarkan. Ketiga, Marketing politik menggunakan konsep marketing secara luas yang meliputi teknik marketing, strategi marketing, teknik publikasi, penawaran ide dan program, desain produk, serta pemrosesan informasi. Keempat, Marketing politik melibatkan banyak disiplin ilmu, terutama sosiologi dan psikologi. Kelima, Marketing politik dapat diterapkan mulai dari pemilu hingga lobby politik di parlemen.


Dalam proses PoliticalMarketing, digunakan penerapan 4P bauran marketing, yaitu:[3]
  1. Produk (Product) berarti partai, kandidat dan gagasan-gagasan partai yang akan disampaikan konstituen.produk ini berisi konsep, identitas ideologi. Baik dimasa lalumaupun sekarang yang berkontribusi dalam pembentukan sebuah produk politik. 
  2. Promosi (Promotion) adalah upaya periklanan, kehumasan dan promosi untuk sebuah partai yang di mix sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, pemilihan media perlu dipertimbangkan.  
  3. Harga (Price), mencakup banyak hal, mulai ekonomi, psikologis, sampai citra nasional. Harga ekonomi mencakup semua biaya yang dikeluarkan partai selama periode kampanye. Harga psikologis mengacu pada harga persepsi psikologis misalnya, pemilih merasa nyaman, dengan latar belakang etnis, agama, pendidikan dan lain-lain . Sedangkan harga citra nasional berkaitan dengan apakah pemilih merasa kandidat tersebut dapat memberikan citra positif dan dapat menjadi kebanggaan negara.  
  4. Penempatan (Place), berkaitan erat dengan cara hadir atau distribusi sebuah partai dan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan para pemilih. Ini berati sebuah partai harus dapat memetakan struktur serta karakteristik masyarakat baik itu geografis maupun demografis.
Tujuan marketing dalam adalah; (1) Untuk menanggulangi rintangan aksesibilitas; (2) Memperluas pembagian pemilih; (3) Meraih kelompok sasaran baru; (4) Memperluas tingkat pengetahuan publik; (5) Memperluas preferensi program partai atau kandidat; (6) Memperluas kemauan dan maksud untuk memilih.[4]

Marketing politik, memiliki dua karakter yang melekat dalam dirinya, yakni karakter struktural dan karakter proses. Karakter struktural mencakup produk, organisasi dan pasar. Sementara karakter proses mencakup pendefinisian nilai, pembangunan nilai dan penyampaian nilai. Terdapat tiga tahapan pada analisis marketing politik:[5] 
  1. Selama pemilihan tema dan sasaran kampanye; ini termasuk "benchmark polls", yang hasilnya sering memiliki pengaruh besar pada keputusan kampanye. 
  2. Setelah "trial campaign", terbatas dalam waktu dan tempat, yang disebut "follow up polls", dalam rangka untuk mengubah keputusan kampanye sebelumnya.
  3. Selama kampanye itu sendiri, yang disebut "traking polls", dalam rangka meningkatkan posisi kampanye, atau memodifikasinya,
Jadi, inti dari political marketing adalah mengemas pencitraan, publik figur dan kepribadian (Personality) seorang kandidat yang berkompetisi dalam konteks Pemilihan Umum kepada masyarakat luas yang akan memilihnya. Dalam hal ini tujuan marketing dalam politik adalah bagaimana membantu PARPOL untuk lebih baik dalam mengenal masyarakat yang diwakili atau menjadi target dan kemudian mengembangkan isu politik yang sesuai dengan aspirasi mereka.



[1] Adman Nursal, Political Marketing (Jakarta : PT gramedia pustaka Utama, 2004), H. 23
[2] Firmanzah, Marketing Politik; Antara Pemahaman dan Realitas (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 18.
[3] Ibid,  h.20.
[4] Bruce I. Newman, Handbook of Political Marketing (California: Sage Publication, 1999), h. 43.
[5] Philipe J. Maarek, Campaign Communication and Political  Marketing, (London: Willey-Blackwell, 2011),h. 54.
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment