Masalah Krisis pangan merupakan salah satu isu utama yang menjadi
perhatian dunia di samping krisis energi.Kontribusi sumbangan dari sektor
pertanian terhadap PDB di negara maju hanya 3-5%, pertanian tetap diperlakukan
sebagai sektor dengan prioritas tinggi. Krisis pangan dunia dimulai sejak tahun
2005 ketika negara-negara dunia mulai mengkhawatirkan kelangkaan bahan pangan
yang kemudian hampir dipastikan akan menimbulkan kenaikan harga pangan. Laporan
FAO menyebutkan bahwadiperkirakan sekitar 36 negara mengalami peningkatan harga
pangan yang cukup tajam yang berkisar dari 75% sampai 200%. Dalam tiga tahun
terakhir secara umum, harga pangan dunia telah meningkat dua kali lipat dan
disusul dengan peningkatanjumlah penduduk miskin yang tidak mampu mengakses
bahan pangan.1 Kekhawatiran finalnya adalah adanya gejolak sosial dan politik
bagi negara-negara yang mengalamikrisis pangan tersebut seperti yang terjadi di
Somalia pada awal Mei 2008.[1]
Kenaikan harga minyak dunia selalu menjadi determinan atas krisis pangan yang melanda dunia saat ini, salah satu faktornya adalah kenaikan harga minyak bumi. Harga minyak yang tinggi, mendekati angka US$105 per barrel, mendorong kenaikan harga sarana produksi dan ongkos angkut. Hal ini ditambah dengan produksi minyak bumi dan gas yang tak bisa mengikuti kenaikan permintaan, dan akhirnya harga energi juga naik tajam. Tragisnya, negara-negara maju memutuskan untuk mengalihkan pemakaian energi berbahan bakar fosil ke bio-fuel. Minyak sawit dipakai untuk bio diesel. Jagung, tebu dan singkong digunakan untuk bio ethanol. Hal ini menyebabkan produksi beras sebagai komoditi utama pangan akan semakin sempit ruang produksinya. Pengalihan atas produksi ini menjadi dorongan utama kenaikan beberapa kebutuhan pokok terutama beras. Proses pengalihan produksi ini sebenarnya mulai muncul pada periode tahun 2005 yang lalu pada saat beberapa negara produksi pangan yang berbasis biji-bijian seperti AS, China, Brasil Australia dan negara-negara lainnya mengubah struktur konsumen komoditas pangan secara besar-besaran. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi atas kenaikan harga minyak dunia dari hasil pertambangan minyak yang berbasis fosil. Dan lagi-lagi perubahan Negara-negara di dunia sangat lambat diantisipasi oleh negeri ini. Ada beberapa faktor penyebab krisis pangan.[2]
1.Penduduk dunia yang kian bertambah.
Ketika
penduduk semakin bertambah maka konsumsi dunia yang semakin tinggi. Tingginya
permintaan ini disebabkan salah satunya oleh semakin bertambahnya penduduk di
tiap-tiap negara setiap tahunnya. Laster Brown, kepala lembaga kebijakan bumi
di Washington DC, mengemukakan bahwa keterbatasan pangan dapat menyebabkan
runtuhnya peradaban dunia. Menurut Brown, manusia mempertahankan kehidupannya
dengan mengikis tanah dan menghabiskan persediaan air tanah lebih cepat dari
pemulihannya kembali. Laporan kompas menjelaskan bahwa populasi manusia di
dunia mengalami peningkatan sebesar 1,2% setiap tahunnya sehingga kenaikan
konsumsi pangan harus bisa mengimbangi pertambahan penduduk demi kelangsungan
hidup dimasa depan.
2. Cuaca Ekstrem
Perubahan cuaca cukup ektrem yang terjadi di beberapa negara termasuk salah
satu faktor yang memberikan dampak negatif bagi produksi pangan. Beberapa
wilayah bahkan tidak hanya mengalami gagal panen, tetapi juga turut merusak
lahan produksi sehingga kecukupan pangan bisa terganggu dalam waktu yang cukup
lama. Hal ini tampak jelas di beberapa negara, baik negara maju, berkembang
maupun miskin. Pada bulan November 2007 terjadi topan Sidr menewaskan ribuan
orang di Bangladesh dan menyapu lahan-lahan padi di negara itu. Lebih lanjut,
berita dari media Epochtime menyebutkan bahwa pada tahun 2010 banyak wilayah
penghasil pangan dunia diterpa berbagai bencana alam dan musibah yang
menyebabkan produksi bahan pangan merosot drastis.
3. Pembatasan Ekspor
Kenaikan harga pangan dunia juga dipicu oleh perlindungan persediaan pangan
dalam negeri masing-masing negara sehinggamenurunkan kuantitas jumlah ekspor
bahan makanan di pasaran internasional. Direktur organisasi perdagangan dunia
(WTO), Pascal Lamy, di Jenewa pada 22 January 2011, Swiss, mengemukakan bahwa
pembatasan ekspor saat ini menjadi penyebab utama melonjaknya harga pagan
dunia. Kebijakan tersebut mengkhawatirkan karena tidak hanya akan
mengganggu harga pangan di pasaran, tetapi juga ancaman bagi negara-negara yang
amat bergantung kepada pasokan impor untuk memenuhi kecukupan pangan mereka.
Lamy mengungkapkan pembatasan ekspor telah memainkan peran utama dalam krisis
pangan.
4. Trend energi alternatif biofuel
Salah
satu faktor penyebab krisis pangan dunia adalah kebijakan energi alternatif
biofuel yang banyak dikembangkan di negara-negara industri maju. Jagung dan
kelapa sawit misalnya, kedua pangan itu sebelumnya untuk konsumsi
masyarakat dunia, tetapi saat ini banyak dijual untuk biofuel yang
permintaannya cukup tinggi. Keterkaitan biofuel dengan kenaikan harga pangan
memang sangat erat. Hal ini terjadi karena beberapa komoditi pangan kini
dipergunakan sebagai bahan baku biofuel. Jika harga beli jagung dan kedelai
untuk kebutuhan biofuel lebih tinggi dibanding harga beli untuk kebutuhan
konsumsi, maka pelaku pasar memiliki kecenderungan untuk menjual hasil panen
jagung dan kedelai mereka ke produsen biofuel. Seperti yang terjadi di Cina,
pengalihan produksi jagung untuk biofuel menyebabkan kelangkaan pakan ternak di
negara itu.
Namun,
kehadiran biofuel bukan tanpa dampak negatif. Munculnya biofuel menghasilkan
ancaman terhadap food security. Peningkatan permintaan biofuel akan
mempertinggi ancaman food security karena lahan yang sebelumnya
digunakan untuk pertanian dikonversi menjadi lahan biofuel. Akibatnya,
kuantitas produksi pangan menurun. Kita harus siap menghadapi kekurangan bahan
pangan. Petani tidak bisa disalahkan. Ketika permintaan biofuel meningkat
seiring tingginya harga minyak dunia, tentu mereka memilih menanam untuk
biofuel. Apalagi ada insentif ekonomi. Alhasil, di beberapa negara, tanaman
pangan diubah menjadi bahan mentah biofuel. Di Brazil dan AS panganan seperti
singkong, jagung, sugarcane, dan sorghum telah dijadikan bahan
mentah untuk biofuel. Dengan menggunakan sugarcane, Brazil memproduksi 4
miliar galon biofuel setahun. AS memproduksi 3 miliar ethanol dari jagung.
Pada
akhirnya muncul kompetisi antara food dan fuel dalam penggunaan
lahan. Meningkatnya produksi biofuel berkorelasi dalam pengurangan lahan untuk
komoditas pangan. Sayangnya, hingga kini belum ada aturan untuk masalah ini. Tidak
hanya masalah lahan, food dan fuel bersaing di bidang investasi
rural, pembangunan infrastruktur, tenaga kerja terlatih, dan masalah-masalah
lainnya. Terlihat bahwa biofuel lebih diutamakan. Infrastruktur untuk lahan
biofuel lebih diutamakan dan investastor lebih tertarik memproduksi biofuel.
Semua fakta itu menunjukkan sebuah fenomena kepada kita: ada ancaman terhadap food
security.
Negara-negara yang memiliki
kemampuan produksi pangan yang lemah maka secara langsung akan menderita krisis
pangan terutama disini adalah negara-negara berkembang. Krisis pangan global
tersebut jika dibiarkan begitu saja tentunya akan segera mempengaruhi ketahanan
pangan global, sehingga dibutuhkan perhatian dan penanganan yang lebih serius.
Berbagai upaya telah dilakukan misalnya program liberalisasi perdagangan dalam
bentuk perdagangan bebas sehingga distribusi bahan pangan antar negara dinilai
dapat menjadi lebih mudah. Sistem yang diprakarsai negara-negara maju terutama
AS ini kemudian banyak dianut oleh negara-negara terutama negara berkembang
karena dianggap dapat mengatasi permasalahan yang dialami. Negara-negara
berkembang tersebut kemudian mendapatkan bantuan dari negara-negara barat
dengan syarat membuka pasar mereka untuk barang impor. Dalam hal ini
negara-negara maju telah berhasil membentuk sistem internasional berupa
perdagangan bebas yang telah berlaku hampir di seluruh negara hingga sekarang.[3]
Realitanya krisis pangan hingga sekarang masih terjadi. Pada tahun 2007-2008
misalnya, Krisis pangan global sempat memanas, stok pangan dunia terus menipis
di tahun 2007 dan pada tahun 2008 terjadi kenaikan harga pangan yang sangat
tinggi hingga negara-negara yang bergantung pada impor kesulitan untuk
mendapatkan pangan. Bahkan krisis pangan yang terjadi seperti di Mesir,
Banglades, dan Yaman sampai menyebabkan timbulnya kerusuhan karena terjadi
antrean orang-orang yang membutuhkan makanan.
Dari fenomena tersebut dapat dilihat
bahaya dari krisis pangan pun kemudian menjalar kepada masalah human
security. Negara-negara maju kemudian menemukan solusi dengan melakukan
penelitian yang memakan waktu lama dan kemudian menemukan penemuan baru berupa
tanaman pangan transgenik. Yang dimaksud dengan tanaman transgenik adalah
tanaman hasil rekayasa genetika dengan upaya pemanfaatan bioteknologi, tanaman
yang toleran terhadap herbisida, resisten terhadap serangga dan virus pada
berbagai jenis tanaman seperti kapas, jagung, kedelai, padi dan papaya. Adopsi
tanaman transgenic yang melaju cepat dikatakan sebagai salah satu indikasi
perkembangan yang baik dari sisi produktivitas, lingkungan, ekonomi, serta
sosial bagi petani kecil, menengah dan besar. Dengan demikian, tanaman
transgenik mengandung gen (pembawa sifat tanaman) yang berasal dari luar
tanaman yang secara sengaja dan terencana dipindahkan dengan
teknologi canggih. Tanaman transgenik ini telah terbukti menghasilkan
tanaman baru yang lebih baik, sehingga dianggap dapat memperbaiki tingkat
produksi pangan di negara-negara yang mengalami krisis pangan. Pada tahun 2015
diperkirakan ada sekitar 40 negara yang akan mengadopsi sistem tanaman
transgenic ini.[4]
Fenomena diatas dipandang sebagai isu deterministik yang penuh dengan kepentingan AS. Selanjutnya berdasarkan bagan Back Bone Fish Scheme dalam menganalisis isu yang digunakan oleh AS yakni yang pertama adalah isu krisis pangan (Food Crissis) yang melanda negara-negara terutama negara berkembang. Isu krisis pangan tersebut dinilai jika tidak ditangani, dikhawatirkan dampaknya akan juga berpengaruh terhadap ketahanan pangan global (Food Security). Di sisi lain dengan fakta krisis pangan yang mengakibatkan tingkat kelaparan yang sangat tinggi, dan krisis pangan yang terjadi di negara-negara timur tengah hingga menyebabkan kerusuhan.
Fenomena tersebut juga berpengaruh
kepada isu Human Security. Maka dari itu AS dengan produk pangan
transgeniknya beralasan untuk mencanangkan alih teknologi kepada negara-negara
lain sehingga dapat memperbaiki tingkat produksinya. Proses selanjutnya adalah Means
atau cara-cara dalam hal ini merupakan bentuk state action yang
dilakukan AS melalui instrumen-instrumen. Melalui FAO Amerika memprediksikan
negara-negara yang mengalami krisis pangan kebanyakan adalah negara-negara
berkembang, dimana negara-negara tersebut merupakan pasar yang bagus untuk
produk transgeniknya. Instrument selanjutnya adalah melalui WTO,
kebijakan-kebijakan WTO terkait perdagangan bebas seluruhnya tentu saja
terdapat pengaruh dari AS. Gagasan-gagasan liberalisasi perdagangan secara
tidak langsung juga digunakan untuk mempromosikan ideologi liberal barat.
Dalam hal ini Goals dari AS adalah mempertahankan sistem Internasional
yakni berlakunya sistem perdagangan bebas antar negara dengan aturan-aturan
yang berlaku. Tentunya aturan-aturan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga
tetap tercipta suatu ketergantungan negara-negara berkembang terhadap negara
maju. Tujuan dari kepentingan AS pun kemudian sudah dapat dilihat dengan jelas
disini yakni kepentingan Economic Gain. Kepentingan ekonomi yakni dalam
meningkatkan nilai ekspor bahan pangan transgenik dan juga memperluas pasar
yang didukung oleh sistem perdagangan bebas yang diatur dalam WTO kepada
negara-negara berkembang. Indonesia misalnya, sebagai negara berkembang dan
menjadi pasar yang bagus bagi produk pangan transgenik AS, berdasarkan Laporan
United States Department of Agriculture (USDA) menyebutkan, nilai ekspor produk
transgenik Amerika ke Indonesia pada tahun 2004,yang terdiri atas kedelai,
jagung, dan kapas mencapai US$ 600 juta. Fakta tersebut
menerangkan akan kepentingan AS yang sebenarnya, yakni demi kepentingan ekonomi
dalam meningkatkan ekspor bahan pangan transgeniknya ke negara-negara
berkembang yang telah terikat dan menerima tekanan dari aturan-aturan WTO dalam
perdagangan bebas.
Terkait dengan adanya ancaman krisis pangan dunia, telah digelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang bertema Food Security and the Challenges of Climate Change and Bioenergy di Roma, Italia, 3–5 Juni 2008. KTT FAO ini merupakan inisiatif bersama PBB,FAO, IFAD, dan WFP atas krisis pangan dunia.
Terkait dengan adanya ancaman krisis pangan dunia, telah digelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang bertema Food Security and the Challenges of Climate Change and Bioenergy di Roma, Italia, 3–5 Juni 2008. KTT FAO ini merupakan inisiatif bersama PBB,FAO, IFAD, dan WFP atas krisis pangan dunia.
Beberapa pemimpin negara maju dan berkembang menghadiri KTT
tersebut.Delegasi Indonesia diwakili Menteri Pertanian Anton
Apriyantono.Beberapa organisasi nonpemerintah (NGO) juga turut diundang.
Sejumlah organisasi non-pemerintah yang hadir dan mengikuti pertemuan FAO
menyatakan tidak dapat menerima kesimpulan KTT karena dinilai tidak berhasil
menemukan solusi atas krisis pangan.
Kelangkaan bahan pokok pangan dan
meningkatnya harga pangan di seluruh dunia telah mendorong reaksi berupa
resistensi atas proyek konversi produk pertanian menjadi bahan bakar yang
ternyata membuat lebih dari 100 juta orang kelaparan.Kenyataannya, di banyak
negara,penduduk mulai meninggalkan lahan pertanian mereka dan kemudian beralih
menanamkan tanaman pangan yang termasuk energi alternatif terbarukan seperti
kelapa sawit, jarak pagar (jatropha curcas).
Ada dua permasalahan utama yang harus di atasi terhadap krisis pangan ini, yang pertama adalah masalah jangka pendek yaitu melonjaknya harga pangan (jagung, gandum dan kedelai) di pasar dunia. Masalah ini berdampak pada penduduk miskin dan semua negara yang mengandalkan pada impor pangan, yang kedua adalah masalah jangka panjang yaitu cara dunia memroduksi, memerdagangkan dan mengomsumsi pangan di tengah terus meningkatnya permintaan, populasi dan perubahan iklim.[5]
[1]
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2013/09/25/ancaman-krisis-pangan-592901.html
di akses pada tanggal 19 April 2014.
[2]
A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup (Jakarta:
Kompas, 2010), h. 292-293.
[3]
Loekman Soetrisno, Paradigma Baru
Pembangunan Pertanian : Sebuah Tinjauan Sosiologis (Yogyakarta: KANISIUS,
2002), h. 30-32.
[4]
Untung Suwahyono, Biopestisida
(Jakarta: Penebar Swadaya, 2010), h.29-30.
[5]
Loekman Soetrisno, Ibid, h. 37.
0 comments:
Post a Comment