Eric A Nordlinger mengemukakan
tentang campur tangan militer dalam politik bahwa seorang pretorian mencoba
menunjukkan kalau mereka adalah perwira yang bertanggung jawab dan berjiwa
nasional. Rasa kebangsaan yang mementingkan orang banyak ini menyebabkan mereka
tidak punya pilihan lain kecuali mempertahankan konstitusi dan negara dari
pengaruh pemerintahan sipil yang sangat labil. Pihak militer menganggap bahwa
mereka perlu menentukan apakah konstitusi telah diubah atau kepentingan negara
telah terancam dan menentukan apakah campur tangan di perlukan atau tidak.
Nordlinger memberkan tiga kategori bagi militer yang memiliki potensi laten
untuk melakukan campur tangan dalam dunia politik yaitu moderator pretorian,
pengawal pretorian dan penguasa pretorian.[1]
Hal ini berarti, pengambilalihan
kekuasaan yang dilakukan oleh militer berlatar belakang agar mempertahankan keutuhan negara dan
menciptakan keteraturan politik. Militer lebih memilih mengambil kekuasaan
dengan kudeta daripada harus merelakan situasi negara yang akan runtuh karena
pemerintahan sipil yang tidak bisa mempertahankan tegaknya keutuhan negara.
Beberapa kondisi sosial yang
mendukung kondisi terbentuknya pretorianisme yaitu kohesi sosial yang rendah,
keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat yang saling bertentangan, kelas
menengah yang terpolarisasi dan tidak terkonsolidasi, serta sumber-sumber
rekrutmen dan mobilisasi. Sementara kondisi politik yang mendukung terbentuknya
pretorianisme adalah pusat dan pinggiran antara kekuatan-kekuatan politik,
rendahnya institusional dan hambatan untuk mendukung terbentuknya struktur
politik, partai politik yang lemah dan tidak efektif, serta seringnya politisi
sipil mencari dukungan maupun mengintervensi dari militer.[2]
Samuel Huntington membagi masuknya
militer ke dalam politik menjadi delapan kategori. Kategori-kategori tersebut
adalah sebagai berikut.[3]
- Perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh militer sebagai reaksi terhadap kekacauan, kemacetan, korupsi, dan sikap reaksioner dari rezim sipil terdahulu.
- Militer yang dimotori oleh para perwiranya, biasanya mempunyai semangat tinggi untuk mengerahkan perhatiannya pada tindakan pembaharuan.
- Adanya pendekatan rasional terhadap problema sosial dari kelompok militer telah mambentuk perwira-perwira yang mampu dan dapat di andalkan sebagai modernisator (modernisator par excellence).
- Adanya sikap tidak peduli dan menentang terhadap kebutuhan pembangunan lembaga-lembaga politik maka rezim sipil menganggap militer tidak mempunyai kepentingan politik yang harus diperjuangkan.
- Pada umumnya bilamana terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh militer, hal ini dinyatakan sebagai untuk sementara waktu dan akan dikembalikan pada rezim sipil jika keadaan politik sudah stabil.
- Apabila pengambilalihan kekuasaan politik dari militer ke tangan sipil, tidaklah berarti persoalan telah selesai karena sewaktu-waktu dapat timbul kudeta militer yang baru. Hal ini merupakan kecenderungan yang paling besar dan sering terjadi di beberapa negera berkembang.
- Kemungkinan akan terjadi kudeta militer dengan alasan serupa.
- Bilamana militer tetap mempertahankan kekuasaanya maka mereka perlu menciptakan lembaga-lembaga politik yang berwenang mengesahkan dan melembagakan kekuasaan mereka.
Huntington
melihat intervensi militer tidak disebabkan oleh faktor internal dari tubuh
militer, seperti kelas, kepentingan perorangan, dan kepentingan golongan.
Menurutnya, militer merebut peran non-militer lebih diakibatkan oleh tidak
setabilnya sistem politik dan kegagalan pemimpin politik untuk menjamin
ditaatinya norma dan proses politik. Militer
tidak mencampuri urusan politik atau memperluas peran-peran nonmiliternya apabila sistem dianggap berfungsi dengan baik.
Ulf Sundhaussen menekankan faktor
yang terdapat di luar militer dalam mendorong keterlibatan militer dalam
politik. Sundhaussen berpendapat bahwa keterlibatan militer lebih disebabkan
oleh kelemahan pihak sipil dalam mengelola pemerintahan. Sundhaussen mencoba
mengelaborasikan beberapa factor krusial yang menyebabkan terjadinya hal
tersebut.[4] Pertama,
ia mengaitkannya dengan alasan-alasan yang bersifat internal dikalangan
militer. Alasan ini memiliki hubungan dengan kepentingan militer untuk menjaga
otonomi militer terhadap intervensi sipil hingga kepentingan lebih luas berupa
masalah kesejahteraan dan ekonomi. Kedua,
yang lebih penting adalah terletak pada kegagalan sistem politik yang dikelola
oleh politisi sipil.
0 comments:
Post a Comment