Film
ini menceritakan bagaimana kondisi buruh pada perusahaan asal luar negeri yang
membuka pabriknya di Indonesia seperti GAP, REEBOK, ADIDAS dan NIKE. Dengan
upah kerja yang rendah, jam kerja yang tidak teratur dimana setiap orang
dipaksa bekerja selama 36 jam, dan kondisi ruangan kerja yang tidak memenuhi
standar kesehatan, mereka di paksa untuk memenuhi batas minimal produksi yang
harus dicapai oleh masing-masing individu. Sangat ironis dimana para buruh
diperas tenaga, fisik dan mental mereka hanya untuk mengisi kantong-kantong
para konglomerat. Memakai tenaga kerja murah untuk mencapai keuntungan
setinggi-tingginya adalah slogan dari para pemilik modal ini. Hal ini tentu
membuat kita bertanya-tanya, apakah ini yang menjadi tujuan globalisasi?
John
Pilger meliput film ini dengan cara membawa kamera tersembunyi dan
berpura-pura menjadi konsumen untuk dapat menyusup ke dalam pabrik dimana dia
mendapati realita yang sangat miris. Terdapat kurang lebih seribu orang dalam
satu ruangan tanpa pendingin ruangan atau tanpa sirkulasi udara memadai yang
tampak penuh sesak dan situasi yang tidak kondusif.
Di bagian yang lain, John Pilger sempat mewawancarai Nicholas Stern, pimpinan bank dunia, dengan maksud untuk menanyakan bagaimana proses terjadinya utang luar negeri yang diberikan oleh Bank Dunia kepada Indonesia dan hubungannya dengan pembantaian yang dilakukan oleh rezim orde baru demi terlaksananya globalisasi. Dikatakan bahwa apa yang diprediksikan para penganut globalisasi mengenai kesejahteraan masyarakat itu salah. Akan tetapi pada kenyataannya, globalisasi justru memperjelas bagaimana proses pemiskinan terjadi melalui penghapusan subsidi beberapa sektor pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Selain wawancara dengan pimpinan bank dunia, dia juga mewawancarai Stanley Fischer sebagai wakil direktur IMF (International Monetary Fund).
Dalam wawancaranya, Pilger mengajukan pertanyaan mengenai kemungkinan dihapuskannya hutang yang sangat diharapkan oleh jutaan orang Indonesia dan diperkirakan dapat mengurangi kemiskinan. Sekali lagi, terungkap bahwa melalui rezim yang berkuasa, globalisasi yang didukung oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia banyak menciptakan pelanggaran seperti diskriminasi terhadap hak asasi manusia dan pencabutan subsidi tarif dasar listrik dan bahan bakar minyak yang akan semakin mempercepat proses pemiskinan.
Di bagian yang lain, John Pilger sempat mewawancarai Nicholas Stern, pimpinan bank dunia, dengan maksud untuk menanyakan bagaimana proses terjadinya utang luar negeri yang diberikan oleh Bank Dunia kepada Indonesia dan hubungannya dengan pembantaian yang dilakukan oleh rezim orde baru demi terlaksananya globalisasi. Dikatakan bahwa apa yang diprediksikan para penganut globalisasi mengenai kesejahteraan masyarakat itu salah. Akan tetapi pada kenyataannya, globalisasi justru memperjelas bagaimana proses pemiskinan terjadi melalui penghapusan subsidi beberapa sektor pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Selain wawancara dengan pimpinan bank dunia, dia juga mewawancarai Stanley Fischer sebagai wakil direktur IMF (International Monetary Fund).
Dalam wawancaranya, Pilger mengajukan pertanyaan mengenai kemungkinan dihapuskannya hutang yang sangat diharapkan oleh jutaan orang Indonesia dan diperkirakan dapat mengurangi kemiskinan. Sekali lagi, terungkap bahwa melalui rezim yang berkuasa, globalisasi yang didukung oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia banyak menciptakan pelanggaran seperti diskriminasi terhadap hak asasi manusia dan pencabutan subsidi tarif dasar listrik dan bahan bakar minyak yang akan semakin mempercepat proses pemiskinan.
Globalisasi
tidak selalu berdampak positif, akan tetapi banyak juga dampak-dampak negatif
yang timbul akibat arus kuat globalisasi dan disisi lain tidak di imbangi oleh
kesiapan dari sumber-sumber daya manusianya secara kualitas yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan
dari globalisasi yakni penurunan kemiskinan, pengangguran yang berkurang dan
kesejahteraan meningkat. Rendahnya
lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia tentu menjadi salah satu faktor
penyebab masalah ini. Hasilnya banyak dari penduduk rela bekerja apa saja hanya
untuk mendapatkan uang agar bisa mencukupi kehidupannya sehari-hari. Hal ini
pun dimanfaatkan oleh negara-negara kapitalis untuk membuka pabrik-pabrik
besar. Negara kapitalis tersebut mendapatkan keuntungan karena mereka
mendapatkan tenaga kerja dengan jumlah besar tanpa harus mengeluarkan uang
banyak untuk mengurusi kesejahteraan mereka. Dimana kesenjangan yang terbentuk
di masyarakat akan menjadi seorang yang kaya akan kaya sedangkan yang miskin
akan tetap miskin. Hal seperti jurang perbedaan yang sangat mencolok akhirnya
dapat menghambat terjadinya integrasi sosial yang di sebabkan karena adanya
perbedaan si kaya dan si miskin.
Dalam era
globalisasi, masyarakat beserta institusi-institusi yang ada di dalamnya, tidak
dapat lepas begitu saja fungsi dan perannya dari kekuatan pasar uang dan modal.
Kedua elemen ini menciptakan suatu system baru yang mana modal financial
menjadi variabel penting dalam perkembangan masyarakat secara keseluruhan.
Karena itu, merujuk pendapat kelompok hiperglobalis, globalisasi membangun
bentuk baru organisasi sosial tanpa keikut sertaan negara-bangsa sebagai lembaga
ekonomi dan unit politik utama dari masyarakat dunia karena kekuatan yang
dimiliki oleh pasar uang dan modal lebih mempunyai daya intervensi lebih besar
dibandingkan lainnya. Kuatnya konsepsi neoliberalisme dalam globalisasi yang
bercirikan: Multilateralisme (lembaga keuangan internasional), dan
Transnasionalisme yang berpijak pada mekanisme pasar, maka dengan
sendirinya berlawanan dengan agenda penghapusan kemiskinan yang hendak
dilakukan oleh siapapun, baik pemerintah nasional, badan-badan PBB, organisasi
non-pemerintah, organisasi-organisasi charity, dan badan-badan keagamaan. Upaya
yang mereka lakukan akan mirip “menabur garam di laut” selama neoliberalisme
sebagai panutan. Fenomena ini terjadi karena kekuatan modal financial melampaui
kekuatan patria akibat semakin diprivatkannya modal hingga kehilangan dimensi
komunitas yang berujung pada personalisasi dan de-personalisasi modal.
Hilangnya
sifat komunitarian pada modal dengan sendirinya akan berimplikasi pada pola
interaksi antar manusia dan pola interaksi manusia dengan alam. Secara logis,
hal ini berakibat berubahnya pola pandang mengenai relasi social dan relasi
dengan alam yang menciptakan suatu hubungan homo economicus dalam segala bentuk
aktivitas sehari-hari. Dari sini, penaklukan terhadap manusia lainnya, dan
terhadap alam akan menjadi suatu hal biasa mengingat telah berubahnya formasi
social yang telah lama eksis. Tidak akan dapat dipungkiri lagi, privatisasi
tanah-tanah adat dan aset-aset nasional, eksploitasi hutan, kerusakan alam, dan
pengusiran penduduk adat akan menjadi fenomena yang biasa terjadi di belahan
bumi manapun.
0 comments:
Post a Comment