Di
negara-negara demokratis, secara sempit lembaga eksekutif diartikan sebagai
kekuasaan yang dipegang oleh raja atau presiden, beserta menteri-menterinya
(kabinetnya). Dalam arti luas, lembaga eksekutif juga mencakup para pegawai negeri
sipil dan militer. Oleh karenanya sebutan mudah bagi lembaga eksekutif adalah
pemerintah. Lembaga eksekutif dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh para
menteri. Jumlah anggota eksekutif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah
anggota legislatif, hal ini bisa dimaknai karena eksekutif berfungsi hanya
menjalankan undang-undang yang dibuat oleh legislatif. Pelaksanaan
undang-undang ini tetap masih diawasi oleh legislatif.
Kekuasaan eksekutif biasanya dipegang oleh badan
eksekutif. Di negara-negara demokratis badan eksekutif biasanya terdiri atas
kepala negara seperti raja atau presiden, beserta menteri-menterinya. Badan
eksekutif dalam arti luas juga mencakup para pegawai negeri sipil dan militer.
Badan
Eksekutif Indonesia terletak pada Presiden yang mempunyai 2 kedudukan sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan.
Tugas-tugas
lembaga eksekutif :
- Administratif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang dan perundangan lainnya dan menyelenggarakan administrasi negara.
- Legislatif, yaitu membuat rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang.
- Keamanan, artinya kekuasaan untuk mengatur polisi dan angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang, pertahanan negara, serta keamanan dalam negeri.
- Yudikatif, yaitu memberi grasi, amnesti dan sebagainya.
- Diplomatik, yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.[1]
Perkembangan Lembaga Eksekutif dari Masa Orde Lama hingga Masa Pasca Reformasi
A. Masa
Orde Lama
Demokrasi Parlementer
Kedudukan lembaga eksekutif sangat dipengaruhi oleh
lembaga legislatif. Hal ini terjadi karena lembaga eksekutif bertanggung jawab
kepada lembaga legislatif. Dengan demikian, lembaga legislatif memiliki
kedudukan yang kuat dalam mengontrol dan mengawasi fungsi dan peranan lembaga
eksekutif. Dalam pertanggungjawaban yang diberikan lembaga eksekutif maka para
anggota parlemen dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada eksekutif jika
tidak melaksanakan kebijakan dengan baik. Apabila mosi tidak percaya diterima
parlemen maka lembaga eksekutif harus menyerahkan mandat kepada Presiden.
Demokrasi Terpimpin
Peranan lembaga eksekutif
jauh lebih kuat bila dibandingkan dengan peranannya di masa sebelumnya.
Peranan dominan lembaga eksekutif tersentralisasi di tangan Presiden Soekarno.
Lembaga eksekutif mendominasi sistem politik, dalam arti mendominasi lembaga-lembaga
tinggi negara lainnya maupun melakukan pembatasan atas kehidupan politik.
Eksekutif bisa membuat undang-undang dan seolah-olah semua terpusat pada
lembaga ini. Dalam eksekutif terjadi kesenjangan dimana antara presiden dan
jajarannya yang seharusnya memiliki kedudukan yang sejajar, tetapi seolah
presiden yang paling memegang kendali. Contoh: pengangkatan presiden seumur hidup. Eksekutif juga mengontrol lembaga peradilan, yang
dibuktikan dengan peraturan yang intinya berbunyi bahwa ketika hakim sudah
tidak mampu lagi untuk memutuskan suatu perkara maka kewenangan itu di ambil
alih oleh presiden.
B. Masa
Orde Baru
Kedudukan lembaga
eksekutif tetap dominan. Dominasi kedudukan eksekutif ini pada awalnya
ditujukan untuk kelancaran proses pembangunan ekonomi. Untuk berhasilnya
program pem-bangunan tersebut diperlukan stabilitas politik. Eksekutif memiliki
kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan kedudukan lembaga legislatif
maupun yudikatif. Pembatasan jumlah partai politik maupun partisipasi masyarakat
ditujukan untuk menopang stabilitas politik untuk pembangunan dan kuatnya
kedudukan lembaga eksekutif di bawah Presiden Soeharto.
Kontrol eksekutif tampak lebih
menonjol manakala memperhatikan keleluasaan eksekutif dalam hal membuat regulatory laws sekalipun hanya bertaraf
peraturan pelaksanaan, alasan kedua adalah dimana perkembangan politik pada era
Orde Baru, kekuatan politik yang berkuasa di jajaran eksekutif ternyata mampu
bermanouver dan mendominasi DPR dan MPR, dengan kompromi politik sebagai hasil trade-offs antara berbagai kekuatan
polotik. Terlihat dari Pemilihan Umum tahun 1973, dimana 100 dari 360 anggota
Dewan adalah anggota yang diangkat dan ditunjuk oleh eksekutif yaitu fraksi
ABRI ditunjuk dan diangkat sebagai konsesi tidak ikutnya anggota ABRI dalam
menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum. Konstelasi dan kontruksi
tersebut dalam abad ke 20 secara sempurna menjadi Government Social Control dan fungsi sebagai Tool of Social Engineering.
Adanya pendayagunaan
wewenang konstitusional badan eksekutif yang melibatkan diri dalam pernacangan
dan pembuatan undang-undang, karena dikusainya sumber daya yang ratif
berlebihan akan menyebabkan eksekutif mampu lebih banyak berprakasa, yang
seharusnya alih ide dan kebijakan diperakasai oleh lembaga perwakilan akan
tetapi pada kenyataannya justru ide dan prakasa eksekutif yang lebih banyak
merintis dan mengontrol perkembangan.[2]
Presiden juga memiliki kewenangan
untuk menentukan keanggotaan MPR (pasal 1 ayat 4 huruf c UU No.16 Tahun 1969 jo
UU No.2 Tahun 1985). Suatu hal yang sangat tidak pantas dan tidak pas dengan logika demokrasi.
Sistem kepartaian yang menguntungkan Golkar, eksistensi ABRI yang lebih sebagai
alat penguasa daripada alat negara, DPR dan pemerintah yang dikuasai partai
mayoritas menyebabkan DPR menjadi tersubordinasi terhadap pemerintah. Hal ini
pula yang menyebabkan fungsi pengawasan terhadap pemerintah (Eksekutif) yang
seharusnya dilaksanakan oleh DPR/MPR (legislatif) menjadi tidak efektif.
C. Masa
Reformasi
Di masa Reformasi yang dimulai dari tumbangnya rezim
autoritarian yang dipimpin oleh Soeharto, kedudukan lembaga eksekutif setara
dengan lembaga pemerintahan yang lain, yaitu lembaga legislatif dan lembaga
yudikatif. Dalam perkembangannya, lembaga eksekutif yang dipimpin oleh presiden
tidak menjadi lembaga paling kuat dalam pemerintahan, karena lembaga eksekutif
diawasi oleh lembaga legislatif, masyarakat (terutama mahasiswa, ormas, LSM,
dan media massa) dalam menjalankan pemerintahan, serta akan ditindaklanjuti
oleh lembaga yudikatif jika terjadi pelanggaran, sesuai dengan Undang-Undang.
Justru pada masa Reformasi hingga detik ini, lembaga eksekutif selalu bertindak
hati-hati dalam menjalankan pemerintahan, jika tidak hati-hati dalam mengambil
dan melaksanakan kebijakan, maka lembaga eksekutif akan mendapatkan tekanan
dari segala kalangan, baik itu dari lembaga pemerintahan lain maupun
kelompok-kelompok kepentingan (NGO), dan terutama dari mahasiswa yang semakin
menyadari perannya sebagai agent of
control. Rekruitmen anggota lembaga eksekutif ditetapkan berdasarkan hasil
pemilu, perjanjian dengan partai koalisi maupun dengan ditunjuk oleh Presiden.[3]
0 comments:
Post a Comment