Retorics - Wacana Menteri Hukum dan Ham (Memkum HAM) Yasonna Laoly untuk memberi
remisi kepada para narapidana koruptor, dianggap menciderai hukum di Indonesia. Dalih Menteri Yasonna adalah hak para napi untuk mendapatkan remisi.
Padahal 2012 lalu yang tercantum dalam PP 99, remisi terhadap kasus
luar biasa diperketat oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Parahyangan Bandung, Agustinus Pohan berpendapat, para napi
korupsi harus punya tolok ukur tertentu untuk bisa mendapatkan hak
remisi ini. Agustinus menambahkan bahwa ukuran para koruptor bisa dihadiahi
remisi, tidak hanya semata-mata dengan berkelakuan baik pada
program-program rehab yang normatif.
“Kita juga tahu beberapa dari mereka bisa mendapat fasilitas,
kemewahan seperti yang terjadi pada Artalyta Suryani. Ukuran koruptor
mendapat remisi ini harus lebih jelas, harus bisa dibuktikan dalam masa
pembinaan, seperti tak menggunakan macam-macam fasilitas kemewahan,”
tuntasnya.
Sebelumnya, Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) sudah melayangkan
pernyataan singkat soal wacana ini. Melalui Sekretaris Kabinet (Seskab),
Andi Widjajanto, Jokowi mengarahkan agar Menkum HAM bisa menjaga rasa keadilan.
Kata Andi, sampai saat ini pemberian remisi pada koruptor masih sebatas wacana.
"Belum diagendakan dalam rapat terbatas. Biasanya kalau untuk
urusan-urusan seperti ini, kalau sudah siap, menteri yang berkaitan
diagendakan dalam rapat," bebernya.
Mendapati laporan tersebut, Andi mengatakan Presiden Jokowi ingin
Yassona tetap menjaga rasa keadilan dalam memberikan remisi. "Arahan
presiden, meminta Menkumham agar rasa keadilan juga," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, rencana pemberian remisi yang digagas Menteri
Yassona menuai banyak kritikan, termasuk dari KPK yang menilai pemberian
remisi justru langkah mundur bagi hukum di Indonesia.
0 comments:
Post a Comment