Konsep Pemerintahan Oligarki

Oligarki dipahami sebagai sebuah bentuk pemerin­tah­an yang kekuasaannya dipegang dan diatur oleh sebagian kecil orang. Kekuasaan itu dilandaskan pada kekuatan kekayaan, kekuatan militer, pengaruh­ politik, atau bisa jadi kombinasi dari ketiga hal tersebut. Menurut pandangan Filsuf Barat Yunani Kuno, yakni Aristoteles, ia me­nyebut­ pemerintahan oligarki sebagai bentuk pemerintahan oleh sebagian kecil orang yang memiliki tujuan untuk memenuhi kepentingan golongan mereka sendiri. Dalam perjalanan sejarahnya, bentuk pemerintahan ini mengalami perubahan seturut dengan perubahan ketatanegarandan sistem pemerintahan. Bentuk ini dapat dilihat dengan jelas dalam bentuk pemerintahan yang kekuasaannya terpusat pada satu partai, seperti yang diterapkan di negara-negara seperti Cina, Uni Soviet, Kuba, dan negara-negara yang memiliki aliran komunis. Selain itu, negara yang menerapkan prinsip the winner takes all, seperti Inggis pun dapat dikategorikan sebagai bentuk pemerintahan oligarkis.  

Hal yang sama diungkapkan oleh Sosiolog Jerman Robert Michels. Ia mengajukan postulat bahwa oligarki merupakan hu­kum besi (iron law of oligarchy) dalam setiap bentuk organi­sasi. Di setiap organisasi, secara alamiah kekuasaan akan jatuh ke tangan sebagian kecil orang yang memegang pemerintahan, mendorongnya menjadi biro­kratis, dan seringkali bersifat konservatif. Kekuasaan oligarkis yang awalnya terbentuk dalam partai politik akan terbawa ke dalam pemerintahan, tak peduli apakah partai tersebut berkuasa melalui jalur pemilihan umum yang demokratis atau melalui jalur revolusi sekalipun.

Michels pun memaknai oligarki dengan melihat dua sisi kekuasaan. Pertama, oligarki merupakan tatanan kekuasaan yang disusun secara memusat atas kendali kelompok elite yang amat kecil. Kedua, oligarki diartikan sebagai tatanan elite dalam jumlah kecil yang mampu menentukan kebijaksanaan publik. Dalam sistem kepartaian, tergambar jelas dalam hukum besi oligarki Robert Michels, yang menyatakan bahwa elite kecil partai berkuasa sedemikian rupa atas partainya untuk mengambil keuntungandengan melebihi kelompok lainnya.[1] Sistem tersebut mengukuhkan sikap pragmatisme, yakni pemerintahan yang hanya mengejar keuntungan atau manfaat untuk segelintir orang saja.[2]

Referensi: Haris, Syamsuddin (ed.). Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.



[1] Haris, Syamsuddin (ed.). Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai, hal. 194.
[2] Ibid, hal. 203.
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment