Latar Belakang Keikutsertaan Militer Dalam Politik

Latar Belakang Keikutsertaan Militer Dalam Politik
Keikutsertaan militer dalam politik menjadi hal yang patut kita pertanyakan, pasalnya militer sebagai alat pertahanan negara yang berkecimpung di dunia politik cenderung menjadi rezim yang bersifat diktator dan menindas. Di negara-negara berkembang, rezim militer di nilai sebagai hal yang sering terjadi beberapa dekade ini. Perlunya kita ketahui situasi yang mendorong militer terjun ke dunia politik sebagaimana kita tau bahwa militer merupakan alat negara yang di latih, di bina dan diberi senjata dalam mempertahankan keutuhan dan kesatuan negara. 

Eric A Nordlinger mengemukakan tentang campur tangan militer dalam politik bahwa seorang pretorian mencoba menunjukkan kalau mereka adalah perwira yang bertanggung jawab dan berjiwa nasional. Rasa kebangsaan yang mementingkan orang banyak ini menyebabkan mereka tidak punya pilihan lain kecuali mempertahankan konstitusi dan negara dari pengaruh pemerintahan sipil yang sangat labil. Pihak militer menganggap bahwa mereka perlu menentukan apakah konstitusi telah diubah atau kepentingan negara telah terancam dan menentukan apakah campur tangan di perlukan atau tidak. Nordlinger memberkan tiga kategori bagi militer yang memiliki potensi laten untuk melakukan campur tangan dalam dunia politik yaitu moderator pretorian, pengawal pretorian dan penguasa pretorian.[1]

Hal ini berarti, pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan oleh militer berlatar belakang agar mempertahankan keutuhan negara dan menciptakan keteraturan politik. Militer lebih memilih mengambil kekuasaan dengan kudeta daripada harus merelakan situasi negara yang akan runtuh karena pemerintahan sipil yang tidak bisa mempertahankan tegaknya keutuhan negara.

Beberapa kondisi sosial yang mendukung kondisi terbentuknya pretorianisme yaitu kohesi sosial yang rendah, keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat yang saling bertentangan, kelas menengah yang terpolarisasi dan tidak terkonsolidasi, serta sumber-sumber rekrutmen dan mobilisasi. Sementara kondisi politik yang mendukung terbentuknya pretorianisme adalah pusat dan pinggiran antara kekuatan-kekuatan politik, rendahnya institusional dan hambatan untuk mendukung terbentuknya struktur politik, partai politik yang lemah dan tidak efektif, serta seringnya politisi sipil mencari dukungan maupun mengintervensi dari militer.[2]

Samuel Huntington membagi masuknya militer ke dalam politik menjadi delapan kategori. Kategori-kategori tersebut adalah sebagai berikut.[3]
  1. Perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh militer sebagai reaksi terhadap kekacauan, kemacetan, korupsi, dan sikap reaksioner dari rezim sipil terdahulu. 
  2. Militer yang dimotori oleh para perwiranya, biasanya mempunyai semangat tinggi untuk mengerahkan perhatiannya pada tindakan pembaharuan. 
  3. Adanya pendekatan rasional terhadap problema sosial dari kelompok militer telah mambentuk perwira-perwira yang mampu dan dapat di andalkan sebagai modernisator (modernisator par excellence). 
  4. Adanya sikap tidak peduli dan menentang terhadap kebutuhan pembangunan lembaga-lembaga politik maka rezim sipil menganggap militer tidak mempunyai kepentingan politik yang harus diperjuangkan. 
  5. Pada umumnya bilamana terjadi pengambilalihan kekuasaan oleh militer, hal ini dinyatakan sebagai untuk sementara waktu dan akan dikembalikan pada rezim sipil jika keadaan politik sudah stabil. 
  6. Apabila pengambilalihan kekuasaan politik dari militer ke tangan sipil, tidaklah berarti persoalan telah selesai karena sewaktu-waktu dapat timbul kudeta militer yang baru. Hal ini merupakan kecenderungan yang paling besar dan sering terjadi di beberapa negera berkembang.
  7. Kemungkinan akan terjadi kudeta militer dengan alasan serupa. 
  8. Bilamana militer tetap mempertahankan kekuasaanya maka mereka perlu menciptakan lembaga-lembaga politik yang berwenang mengesahkan dan melembagakan kekuasaan mereka.
Huntington melihat intervensi militer tidak disebabkan oleh faktor internal dari tubuh militer, seperti kelas, kepentingan perorangan, dan kepentingan golongan. Menurutnya, militer merebut peran non-militer lebih diakibatkan oleh tidak setabilnya sistem politik dan kegagalan pemimpin politik untuk menjamin ditaatinya norma dan proses politik. Militer tidak mencampuri urusan politik atau memperluas peran-peran nonmiliternya  apabila sistem  dianggap berfungsi dengan baik. 

Ulf Sundhaussen menekankan faktor yang terdapat di luar militer dalam mendorong keterlibatan militer dalam politik. Sundhaussen berpendapat bahwa keterlibatan militer lebih disebabkan oleh kelemahan pihak sipil dalam mengelola pemerintahan. Sundhaussen mencoba mengelaborasikan beberapa factor krusial yang menyebabkan terjadinya hal tersebut.[4] Pertama, ia mengaitkannya dengan alasan-alasan yang bersifat internal dikalangan militer. Alasan ini memiliki hubungan dengan kepentingan militer untuk menjaga otonomi militer terhadap intervensi sipil hingga kepentingan lebih luas berupa masalah kesejahteraan dan ekonomi. Kedua, yang lebih penting adalah terletak pada kegagalan sistem politik yang dikelola oleh politisi sipil.


[1] Toto Pribadi, Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 37.
[2] Ibid, h. 38.
[3] Ibid, h. 38.
[4] Ibid, h. 41.
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment