Melawan Lupa : Melacak Jejak Parlemen Indonesia

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebuah lembaga legislatif negara yang berfungsi menyalurkan aspirasi dan haluan perjuangan bangsa Indonesia. Hak istimewa dan fasilitas nomer satu diberikan negara kepada para anggota DPR Maka tak aneh jika partai politik berlomba-lomba menempatkan kadernya untuk menduduki kursi wakil rakyat ini. Akan tetapi, apa yang diberikan tidak berbanding lurus dengan kinerja yang ditunjukkan oleh anggota DPR. Sabam Sirait, seorang mantan anggota DPR-RI, mengatakan bahwa anggota DPR itu sebagian ada yang tidak bekerja dengan sungguh-sungguh akan tetapi banyak dari mereka yang bekerja secara sungguh-sungguh.

Hanta Yudha, seorang pengamat politik, mengatakan bahwa harusnya partai politik mempunyai performance index untuk mengukur kinerja anggota legislatifnya, kinerja yang bagus kemudian tingkat kehadirannya, kredibilitas dan integritasnya bagus. Para wakil rakyat seyogyanya memiliki integritas yang baik, kredibilitas dan kapabilitas namun yang tercermin justru sebaliknya, banyak sorotan tajam terhadap wakil rakyat, mulai dari mangkir siding, tidur ketika rapat berlangsung, menonton video porno sampai plesiran keluar negeri dengan dalih studi banding yang menghabiskan milyaran anggaran negara.
Untuk menciptakan lembaga perwakilan menjalankan fungsinya dengan baik perlu langkah cepat menata kembali regulasi yang berlaku, selain itikad baik dari partai politik. Ini juga penting untuk menghasilkan kebijakan yang berpihak kepentingan umum.

Perjalanan Parlemen Indonesia
Dalam perjalanan parlemen di Indonesia, tanggal  18 Mei 1918, dibentuk badan perwakilan rakyat atau Volkstraad di era Kolonial Belanda dengan fungsi lembaga ini yang hampir mirip dengan lembaga legislatif yang ada sekarang. Lembaga ini dijadikan wadah bagi para pejuang memperjuangkan kemerdekaan dan menjadi sebuah tempat untuk melakukan kriktik-kritik terhadap belanda. 

Tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang di wakili oleh Jendral Imamura di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Pendudukan Jepang ini menandai berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia, pendudukan ini juga mengakibatkan tidak di akuinya lembaga Volkstraad. 

Kemudian, demi menarik simpati kalangan islam, Jepang membentuk suatu badan yaitu Dokuritsu Junbi Cosakai atau BPUPKI yang mempunyai fungsi mempersiapkan kemerdekaan dan merumuskan dasar negara Indonesia. Jepang menganggap bahwa bangsa Indonesia pada saatnya akan merdeka, berbeda Belanda tidak pernah memikirkan akan kemerdekaan Indonesia.

Tanggal 29 Agustus 1945, dibentuk KNIP oleh Presiden Soekarno di Gedung Kesenian Jakarta dan hari pembentukan KNIP ini dijadikan hari jadi DPR.  Sebelum di buat badan perwakilan, di bentuklah KNIP yang bertugas membantu Presiden dan pemerintah yang ada. 

Tahun 1955 di adakan untuk pertama kalinya pemilu untuk memilih anggota MPR dan Konstituante. Pemilu tahun 1955, merupakan pemilu yang di anggap demokratis dimana diikuti 29 Partai Politik. Dengan 4 kekuatan politik terbesar di PNI, NU, Masyumi, dan PKI. 

Tanggal 5 juli 1959, presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang membubarkan Konstituante dan kembalinya ke UUD 1945. Presiden Soekarno melakukan ini karena melihat program kerja kabinet yang tidak berjalan serta partai politik yang selalu bertikai dan saling menjatuhkan. Maka di bubarkannya Konstituante dan sebagai gantinya dibentuk DPR-GR dan MPRS yang diangkat oleh Presiden. Tahun 1965, ketika terjadi pemberontakan G30S-PKI, 40 anggota PKI yang tergabung di DPR-GR di keluarkan dan di ganti dengan partai lain. 

Tanggal 27 maret 1968, demi legitimasi dalam negeri dan internasional, Abdul Harris Nasution selaku ketua MPRS menggelar sidang istimewa untuk mengangkat Letnan Jendral Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia. Ditopang oleh kekuatan Golkar, ABRI, dan Birokrasi, Presiden Soeharto menggelar pemilu pertama di era orde baru tahun 1971. Pemilu tersebut diselenggarakan dalam rangka menciptakan stabilitas keamanan. 

Sejak tahun 1977-1997, beragam strategi kebijakan orde baru untuk tetap menjadi pemenang pemilu mulai dari fusi partai politik dengan dikeluarkannya UU no 13 tahun 1975 sampai diberlakukannya asas tunggal kepada semua partai. Pada era Orde Baru , Fragmentasi dan polarisasi di masyarakat cukup kuat, dimana ada pemilih yang loyal kepada satu ideologi. Berbeda dengan sekarang yang tidak jelas ideology atau semua ideology hampir mirip antara satu partai dengan partai lainnya. 

Sejak era reformasi sesuai dengan Maklumat X tahun 1945 tentang pembentukan partai politik yang dikeluarkan oleh Muhammad Hatta, semangat berpolitik pada saat ini kian meningkat dengan munculnya berbagai partai politik. 

Akan tetapi partai yang ada sekarang terjebak pada dua kekuatan yaitu Uang dan Popularitas. Bagi partai dengan kekuatan uang, dapat memperoleh orang-orang dan memiliki sumber dana yang bagus demi mencapai suara yang diinginkan. Sedangkan Artis dan Public Figur yang mengandalkan popularitas, di gunakan untuk mencari suara atau Vote Getter. Memang tidak ada peraturan bahwa artis maupun public figure dilarang mencalonkan diri, tetapi ini kembali kemasyarakat bahwa artis yang tidak mengerti tentang politik atau bagaimana cara kerja anggota legislatif, apakah dia mampu untuk menjadi wakil rakyat dengan hanya mengandalkan popularitas semata. Lucu memang, sudah menjadi anggota DPR tetapi masih jadi pelawak. Apakah orang-orang seperti ini yang di harapkan Indonesia dalam rangka mewujudkan kemajuan bangsa. Ditengah kompleksitas masalah yang dihadapkan Indonesia, para legislator harus benar-benar berkualitas dan ada proses kaderisasi yang panjang di dalam tubuh partai politik bukan kader instan.
Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment