Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang telah mendunia
dan hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Selain
bersifat laten dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak
hanya dialami oleh Negara-negara berkembang melainkan negara maju sepeti
inggris dan Amerika Serikat. Negara inggris mengalami kemiskinan di penghujung
tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri di Eropa. Sedangkan
Amerika Serikat bahkan mengalami depresi dan resesi ekonomi pada tahun 1930-an.[1]
Arti definitif dari pada kemiskinan adalah sebuah keniscayaan.
Berawal dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan
memperbaiki keadaan hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan
komponen-komponen sosial dan moral. kemiskinan timbul oleh karena minimnya
penyediaan lapangan kerja di berbagai sektor, baik sektor industri maupun
pembangunan. selain itu kemiskinan ditimbulkan oleh ketidakadilan faktor
produksi, atau kemiskinan adalah ketidakberdayaan masyarakat terhadap sistem
yang diterapkan oleh pemerintah sehingga mereka berada pada posisi yang sangat
lemah dan tereksploitasi. Arti definitif ini lebih dikenal dengan kemiskinan
struktural.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan
absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk
golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis
kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang,
kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif
sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah
kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan
sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki
tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.[2]
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu
kemiskinan alami dan kemiskinan buatan. kemiskinan alami terjadi akibat sumber
daya alam (SDA) yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana
alam. Kemiskinan Buatan diakibatkan oleh imbas dari para birokrat kurang
berkompeten dalam penguasaan ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia,
sehingga mengakibatkan susahnya untuk keluar dari kemelut kemiskinan tersebut.
Dampaknya, para ekonom selalu gencar mengkritik kebijakan pembangunan yang
mengedepankan pertumbuhan ketimbang dari pemerataan. Indikator-indikator kemiskinan antara lain:
- Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan papan).
- Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
- Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga)
- Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa.
- Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.
- Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
- Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.
- Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
- Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil).
Jumlah kemiskinan dan persentase penduduk miskin selalu
berfluktuasi dari tahun ke tahun, meskipun ada kecenderungan menurun pada salah
satu periode (2000-2005). Pada periode 1996-1999 penduduk miskin meningkat
sebesar 13,96 juta, yaitu dari 34,01 juta(17,47%) menjadi 47,97 juta (23,43%)
pada tahun 1999. Kembali cerah ketika periode 1999-2002, penduduk miskin
menurun 9,57 juta yaitu dari 47,97 (23,43%) menurun menjadi 38,48 juta
(18,20%). Keadaan ini terulang ketika periode berikutnya (2002-2005) yaitu penurunan
penduduk miskin hingga 35,10 juta pada tahun 2005 dengan presentasi menurun
dari 18,20% menjadi 15,97 %. Sedangkan pada tahun 2006 penduduk miskin
bertambah dari 35,10 juta (15,97%) menjadi 39,05 juta (17,75%) berarti penduduk
miskin meningkat sebesar 3,95 juta (1,78%). Badan Pusat Statistika ( BPS )
telah melaksanakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada bulan Maret
2007 angka resmi jumlah masyarakat miskin adalah 39,1 juta orang dengan kisaran
konsumsi kalori 2100 kilo kalori (kkal) atau garis kemiskinan ketika pendapatan
kurang dari Rp 152.847 per-kapita per bulan.
Pada
dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program
penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program
penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran
bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk
rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin.
Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena
sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Faktor
kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan
adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu
sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada
isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. Sebagaimana
diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program
penanggulangan kemiskinan selama ini
adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS
dan data mikro hasil pendaftaran
keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua
data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang
sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada
indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan
dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia
sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi
sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal. Bisa
saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk
kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah
kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba
Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan
beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda
antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Masalah
kemiskinan di Indonesia sarat sekali hubungannya dengan rendahnya tingkat
Sumber Daya Manusia (SDM). dibuktikan oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat
Indonesia meskipun kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Sebagaimana yang
ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM) Indonesia pada
tahun 2002 sebesar 0,692. yang masih menempati peringkat lebih rendah dari
Malaysia dan Thailand di antara negara-negara ASEAN. Sementara, Indeks
Kemiskinan Manusia (IKM) Indonesia pada tahun yang sama sebesar 0,178. masih
lebih tinggi dari Filipina dan Thailand. Selain itu, kesenjangan gender di
Indonesia masih relatif lebih besar dibanding negara ASEAN lainnya.
Tantangan
lainnya adalah kesenjangan antara desa dan kota. Proporsi penduduk miskin di
pedesaan relatif lebih tinggi dibanding perkotaan. Data Susenas (National
Social Ekonomi Survey) 2004 menunjukkan bahwa sekitar 69,0 % penduduk Indonesia
termasuk penduduk miskin yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian.
Selain itu juga tantangan yang sangat memilukan adalah kemiskinan di alami oleh
kaum perempuan yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peranan
wanita, terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya
angka pembangunan gender (Gender-related Development Indeks, GDI) dan angka
Indeks pemberdayaan Gender(Gender Empowerment Measurement,GEM).
Masalah
dasar pengentasan kemiskinan bermula dari sikap pemaknaan kita terhadap
kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu hal yang alami dalam kehidupan. Dalam
artian bahwa semakin meningkatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka
kebutuhan pun akan semakin banyak. Pengentasan masalah kemiskinan ini bukan
hanya kewajiban dari pemerintah, melainkan masyarakat pun harus menyadari bahwa
penyakit sosial ini adalah tugas dan tanggung jawab bersama pemerintah dan
masyarakat. Ketika terjalin kerja sama yang romantis baik dari pemerintah,
nonpemerintah dan semua lini masyarakat. Dengan digalakkannya hal ini, tidak perlu
sampai 2030 kemiskinan akan mencapai hasil yang seminimal mungkin.
0 comments:
Post a Comment