Berbicara
tentang Israel dan Palestina, orang akan merujuk kepada perang yang tidak ada
hentinya, pembantaian, blockade Tepi Barat dan Jalur Gaza serta Jerussalem
Timur. Konflik Palestina dan Israel sudah berlangsung selama enam dasawarsa
sejak para pegiat Zionis Yahudi memproklamasikan kemerdekaan Israel di tanah Palestina
pada 14 Mei 1948. Yang terjadi sesungguhnya bukanlah konflik yang didasarkan
atas agama, melainkan konflik politik, ekonomi, kemanusiaan, hukum, nasionalisme,
dan keserakahan manusia. Setelah Kekaisaran Turki runtuh, Palestina
dikategorikan sebagai daerah mandat LBB dan kemudian diteruskan PBB sebagai
bagian dari trusteeship (perwalian). Inggris, sebagai pemegang mandat Palestina
sejak tahun 1922, tidak mampu mengendalikan bentrokan yang terjadi antara
bangsa Arab Palestina yang terdesak dengan imigran Yahudi yang semakin
membanjir. Setelah mengalami proses yang panjang akhirnya Majelis Umum PBB
mengeluarkan Resolusi No. 181 (II) pada 29 November 1947 yang kemudian dikenal
sebagai UN Partition Plan yang isinya menyetujui rencana membagi Palestina
menjadi tiga bagian;
Perang 1948 telah memunculkan persoalan pengungsi Palestina yang terusir dari kediamannya di Palestina. Sekitar 750.000 warga Palestina terpaksa menjadi pengungsi dan mencari perlindungan di negara-negara Arab.[3] Pada tahun 1967, terjadi konflik berikutnya antara Arab dan Israel. Israel yang telah mengerahkan kekuatan intelijennya ke seluruh wilayah negara-negara Arab, telah berhasil menghimpun informasi berkaitan dengan rencana negara-negara Arab untuk menyerang Israel. Israel melancarkan serangan pertamanya ke Mesir, yang dikhususkan ke pangkalan udara militer yang menjadi basis kekuatan Mesir dan selama 5 (lima) hari kemudian, Israel terus melancarkan serangan-serangannya ke negara-negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel seperti Yordania, Suriah, dan Lebanon. Perang yang dikenal juga dengan Six-Days War ini kembali dimenangkan oleh Israel, dan tidak hanya itu, Israel berhasil merebut wilayah Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Jerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan (Golan Heights) dari Suriah. Secara faktual, aliansi kekuatan militer negara-negara Arab jauh lebih besar dibandingkan dengan Israel. Namun Israel berhasil memenangkan peperangan dan berhasil mengubah peta geopolitik di kawasan Timur Tengah.
Perang 1967 lagi-lagi menghasilkan problem pengungsi. Sekitar 250.000 penduduk Palestina menjadi bagian dari gelombang kedua pengungsi Palestina, dan bergabung bersama penduduk Palestina lain yang telah berada di pengungsian. Orang-orang Palestina yang hidup di kamp-kamp pengungsian menghadapi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan yang paling dasar sekalipun. Mereka hanya bisa menggunakan air dan listrik jika orang Israel mengizinkannya, dan berjalan bermil-mil untuk bekerja demi upah yang amat rendah. Bagi mereka yang pergi bekerja atau mengunjungi kerabat yang tinggal di dekat kamp pengungsian,perjalanan itu seharusnya tidak lebih dari 15 menit saja.[4]
- Negara Arab, dengan wilayah Acre, Nazareth, Jenin, Nablus, Ramallah, Hebron, Jalur Gaza dan kota pelabuhan Jaffa.
- Negara Yahudi, dengan wilayah Safad, Tiberias, Beisa, Haifa, Tulkarm, Ramleh, Sahara Negeb dan Jaffa.
- Jerusalem dan Bethlehem sebagai wilayah di bawah pengawasan internasional
Jerusalem
yang berdiri kokoh di pegunungan Yudea adalah kota suci bagi tiga agama
monoteistik: Yudaisme, Kristen dan Islam. Menariknya, sepanjang sejarah kota
itu bahkan sampai sekarang, selalu berada di pusat pusaran konflik geopolitik,
yang sekarang dimanifestasikan oleh Yahudi dan Palestina yang memperebutkan
dominasi atas kota tersebut.
Baik orang-orang Yahudi, Kristen
maupun Islam sama-sama mengklaim sebagai yang berhak atas kota Jerusalem.
Orang-orang Yahudi mendasarkan klaimnya kembali ke peristiwa yang terjadi pada
abad 11 SM tatkala raja Daud mengalahkan dan merebut kota itu; bagi umat
Kristiani kesucian kota itu diperoleh dari kehidupan serta karya Yesus dan
penyaliban, wafat serta kebangkitan-Nya di Jerusalem; sementara bagi umat
Muslim, Jerusalem menjadi penting karena di kota itu Nabi Muhammad SAW ber-Isra
Mi‘raj. Ia melakukan perjalanan malam dari Mekkah dan kemudian Mi‘raj ke Sidrat
Al Muntaha dari kota itu. Kesucian Jerusalem telah menjadi daya tarik bagi
ketiga agama monoteistik untuk mengerahkan kekuatannya ke kota itu sejak zaman
dulu.[2]
Hal
ini kemudian meluas tidak hanya konflik antara Israel dan Palestina melainkan
konflik Israel dengan Arab. Hal ini di tandai dengan, Konflik bersenjata
pertama antara Arab dengan Israel terjadi beberapa hari sesudah
diproklamasikannya kemerdekaan Israel. Pada saat itu, Israel belum memiliki
angkatan bersenjata yang resmi, dan hanya mengandalkan organisasi paramiliter
seperti Haganah, Irgun, Palmach yang berjuang tanpa komando. Sementara bangsa
Arab di Palestina juga mengandalkan organisasi paramiliter Futuwa dan Najjada.
Namun setelah itu, bangsa Arab didukung oleh negara-negara Arab disekitar Israel
seperti Irak, Yordania dan Mesir untuk mendukung perlawanan Arab terhadap
Israel. Peperangan 1948 atau yang dikenal dengan nama Al Nakba dimenangkan oleh
Israel, setelah selama lebih dari satu tahun bertempur. Berakhirnya perang Al
Nakba ini ditandai dengan dibuatnya perjanjian perdamaian antara Israel dengan
negara-negara Arab disekitarnya pada bulan Juli 1949.
Perang 1948 telah memunculkan persoalan pengungsi Palestina yang terusir dari kediamannya di Palestina. Sekitar 750.000 warga Palestina terpaksa menjadi pengungsi dan mencari perlindungan di negara-negara Arab.[3] Pada tahun 1967, terjadi konflik berikutnya antara Arab dan Israel. Israel yang telah mengerahkan kekuatan intelijennya ke seluruh wilayah negara-negara Arab, telah berhasil menghimpun informasi berkaitan dengan rencana negara-negara Arab untuk menyerang Israel. Israel melancarkan serangan pertamanya ke Mesir, yang dikhususkan ke pangkalan udara militer yang menjadi basis kekuatan Mesir dan selama 5 (lima) hari kemudian, Israel terus melancarkan serangan-serangannya ke negara-negara Arab yang berbatasan langsung dengan Israel seperti Yordania, Suriah, dan Lebanon. Perang yang dikenal juga dengan Six-Days War ini kembali dimenangkan oleh Israel, dan tidak hanya itu, Israel berhasil merebut wilayah Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir, Jerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan (Golan Heights) dari Suriah. Secara faktual, aliansi kekuatan militer negara-negara Arab jauh lebih besar dibandingkan dengan Israel. Namun Israel berhasil memenangkan peperangan dan berhasil mengubah peta geopolitik di kawasan Timur Tengah.
Perang 1967 lagi-lagi menghasilkan problem pengungsi. Sekitar 250.000 penduduk Palestina menjadi bagian dari gelombang kedua pengungsi Palestina, dan bergabung bersama penduduk Palestina lain yang telah berada di pengungsian. Orang-orang Palestina yang hidup di kamp-kamp pengungsian menghadapi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan yang paling dasar sekalipun. Mereka hanya bisa menggunakan air dan listrik jika orang Israel mengizinkannya, dan berjalan bermil-mil untuk bekerja demi upah yang amat rendah. Bagi mereka yang pergi bekerja atau mengunjungi kerabat yang tinggal di dekat kamp pengungsian,perjalanan itu seharusnya tidak lebih dari 15 menit saja.[4]
Proklamasi
kemerdekaan Israel tepat sehari setelah berakhirnya mandat Inggris di Palestina
yaitu pada tanggal 14 Mei 1948 yang kemudian diperingati oleh bangsa Palestina
sebagai Hari Nakbah (hari bencana), merupakan puncak tercapainya cita-cita
Kongres Zionis pada tahun 1897. Beberapa jam kemudian Presiden Truman mengakui
secara de facto negara baru ini atas nama AS. Dengan kemerdekaan itu, cita-cita
orang Yahudi yang tersebar di berbagai belahan dunia untuk mendirikan negara
sendiri, telah tercapai. Mulai hari itu, milisi bersenjata Yahudi menggunakan momentum
hengkangnya pemerintah protektorat Inggris dari wilayah Palestina dengan
merampas sebanyak mungkin wilayah dan mengusir penduduk asli Palestina. Situasi
kacau balau di Palestina saat itu memicu meletusnya perang Arab-Israel pertama.
Agresi besar-besaran Israel kembali terjadi selama 22 hari sejak tanggal 27 Desember
2008 sampai 17 Januari 2009. Hingga hari ke sembilan, gempuran demi gempuran
yang dilakukan Israel telah menelan korban lebih dari 400 orang tewas. Hingga hari
ke sembilan, gempuran demi gempuran yang dilakukan Israel telah menelan korban
lebih dari 400 orang tewas. Tindak biadab kaum Yahudi ini juga menyebabkan
hampir 2.000 orang lainnya luka-luka serta sekitar 1,5 juta penduduk Gaza
terancam kelaparan. Selain itu, serangan Israel telah merusak sejumlah infrastruktur
di Jalur Gaza.[5]
Dewan
Keamanan PBB akhirnya mengeluarkan resolusi terkait agresi brutal Israel di
Jalur Gaza. Resolusi itu didukungan 14 anggota Dewan Keamanan kecuali AS,
satu-satunya anggota Dewan Keamanan yang abstein atas resolusi itu. Resolusi
tersebut menyerukan "gencatan senjata sesegera mungkin, yang berlangsung
lama dan setiap pihak harus menghormati penuh gencatan senjata" di Jalur
Gaza. Resolusi yang draftnya disusun bersama antara negara-negara Arab, AS,
Inggris dan Prancis juga memerintahkan penarikan mundur pasukan Israel dari Gaza,
namun tidak dijelaskan dengan detil kerangka waktu penarikan mundur pasukan
Israel.
[1] Fery Subagdja, ―Penyebab awal
Konflik Palestina-Israel‖, 1 Januari 2009, dalam
http://forum.lareosing.org/showthread.php?t=6958,
diakses 10 juni 2014
[2] Trias Kuncahyono, Jerusalem:
Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir (Jakarta:Kompas), h.130
[3] Lihat catatan, Tri Darma Yudha
Prihot Nababan, ―Sejarah Konflik Palestina Israel‖, 22 April 2008, h.5
[4] Ibid., h.6-7
[5]
http://metronews.com/index.php/metromain/newvideo/2009/01/03/73853/Jet-Jet-Tempur-Israel-Terus-Tempur-Gaza
0 comments:
Post a Comment