Parlemen di Indonesia pasca dilantik masa baktinya tahun
2014-2019 banyak mengalami gejolak yang bisa membuat masyarakat yang melihatnya
malu maupun yang mendengarnya terasa panas di telinga, salah satunya adalah adanya parlemen bayangan atau yang
mereka sebut DPR tandingan. Dari namanya saja sudah tentu sesuatu yang ganjil.
Kenapa ada kata tandingan dibelakang DPR? Apa tujuan dibalik semua itu? Apa ada
yang salah dengan DPR? Satu DPR saja sudah merepotkan apalagi dua. Sudah tentu
banyak rakyat Indonesia geleng-geleng kepala
perihal kelakuan yang bisa dibilang kekanak-kanakan. Benar kata almarhum Gus
Dur, DPR ibarat anak TK. Tidak mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan,
marah-marah lantas membentuk tandingan yang jelas-jelas sesuai amanat UU tidak
ada DPR yang “tandingan”.
DPR tandingan dibentuk oleh fraksi pendukung pemerintah seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
DPR tandingan dibentuk oleh fraksi pendukung pemerintah seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai NasDem, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pada dasarnya, hal-hal seperti ini muncul manakala
egoisme, arogansi serta frustasi yang melanda Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
akibat menelan pil pahit kekalahannya atas Koalisi Merah Putih (KMP) di
parlemen. Terhitung sudah lima kali KIH harus menerima kekalahan telak atas
KMP. Sebut saja pengesahan UU MD3, pembahasan tata tertib pimpinan DPR,
pengesahan UU Pilkada tidak langsung, pemilihan ketua DPR dan yang terakhir
pemilihan ketua MPR.
Tindakan KIH ini dikecam banyak pihak baik pengamat politik sampai masyarakat yang geram atas tindakannya tersebut yang mencoreng nama Indonesia. Langkah KIH membentuk DPR tandingan dinilai kontraproduktif dengan komitmen awal mereka untuk bekerja secara total untuk rakyat.[1]
Tindakan KIH ini dikecam banyak pihak baik pengamat politik sampai masyarakat yang geram atas tindakannya tersebut yang mencoreng nama Indonesia. Langkah KIH membentuk DPR tandingan dinilai kontraproduktif dengan komitmen awal mereka untuk bekerja secara total untuk rakyat.[1]
KMP sendiri menyatakan bahwa sebagai koalisi
oposisi pemerintah bukan berarti koalisi mereka bertujuan untuk
menghalang-halangi pemerintahan Jokowi-JK melainkan untuk mengawal pemerintahan
Jokowi manakala terjadi penyimpangan maka KMP bertindak untuk meluruskannya. Mungkin
tidak ada yang salah jika parlemen di dominasi oleh koalisi oposisi. Hal itu
akan berimbas pada pemerintahan yang
berjalan baik dengan adanya check and
balance yang terjalin antara legislatif dan eksekutif. Legislatif lebih
berperan aktif dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan yang diambil. Ini lebih
baik daripada koalisi pendukung pemerintah di legislatif yang hanya ikut-ikut
saja apapun kebijakan yang diambil pemerintah tidak peduli jika benar atau pun
salah yang penting sebagai koalisi pendukung pemerintah sudah seharusnya
mendukung kebijakan apapun.
Beralaskan Sesuatu yang
Tidak Logis
Kisruh di DPR pada akhir-akhir ini dilatari karena
adanya
kebuntuan komunikasi terkait pembagian kursi pimpinan komisi dan alat kelengkapan
DPR. Pada awal mulanya, KIH (Koalisi Indonesia Hebat) ditawarkan 10 kursi
pimpinan komisi kemudian berubah menjadi 16, akan tetapi setelah kabinet
terbentuk tawaran turun hingga hanya 6 kursi. Jatah 6 kursi tersebut diserahkan
kepada PDIP dan PDIP diberi keleluasaan untuk membaginya dengan fraksi
pendukung atau akan dipakai sendiri. Sedangkan sebanyak 63 slot kursi disapu habis oleh fraksi
pendukung Prabowo seperti Gerakan Indonesia Raya, Golkar, Partai Keadilan
Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Demokrat.
KIH mengklaim bahwa DPR tandingan ini lebih
akomodatif dan aspiratif daripada DPR kubu KMP. Selain itu dari fraksi PDIP
mengatakan bahwa pihaknya terpaksa melakukan mosi tidak percaya terhadap ketua
DPR, Setya Novanto, dan membentuk DPR tandingan lantaran ingin menghindari
adanya kontak fisik diantara anggota DPR. Ini terjadi karena dinilai gaya
kepemimpinan Setya Novanto yang tidak mengakomodir kubunya.
KIH menyebut KMP sudah melanggar etika
manakala dalam paripurna penetapan alat kelengkapan dewan dan persoalan
pemilihan pimpinan komisi yang dinilai inkonstitusional dan tidak mencapai
kuorum. KIH beralasan pimpinan DPR versi KMP dinilai sudah tidak benar dalam
memimpin, etika dilanggar dan substansi dilanggar maka dari itu untuk
menghindari kisruh lebih lanjut, dibentuklah DPR versi KIH yang dengan senang
hati dapat mengakomodir seluruh kepentingan koalisinya.
Pro Kontra
Politisi PDIP, Aria Bima, menyebutkan bahwa
membuat pimpinan sementara bukan DPR tandingan. Ia berdalih hal ini untuk merumuskan
keputusan-keputusan yang dipandang lebih fair agar fungsi kedewanan dapat
berfungsi secara baik, termasuk menyangkut prosedur pemilihan pimpinan Alat
Kelengkapan Dewan (AKD) secara fair, proporsional, dan adil sesuai prinsip
musyawarah mufakat. Sudah sepantasnya PDIP sebagai pemenang pemilu mendapatkan
kursi pimpinan komisi yang dibagi secara proporsional. Agak berbeda dengan Aria
Bima, Hendrawan Supraktino, politisi PDIP, berpendapat bisa saja DPR bersatu
asalkan masing-masing kelompok menjunjung tinggi semangat kebersamaan, sesuai
azas keadilan, dan kembali ke azas musyawarah untuk mufakat. Azas kebersamaan
itu harus sesuai dengan semangat representasi rakyat agar bisa menjalankan
fungsi DPR. Bahkan kabarnya Ketua Umum
PDIP, Megawati Soekarnoputri, mengetahui dan merestui upaya KIH dalam membentuk
pimpinan DPR tandingan.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Ronald Rofiandi menilai, manuver Koalisi Indonesia Hebat di parlemen bukan
pelanggaran hukum atau inkonstitusional. Menurutnya, ini hanya sikap politik
kubu KIH yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan KIH terhadap pimpinan DPR
yang mengambil keputusan secara sepihak. Akibatnya, fraksi-fraksi dalam KIH
melayangkan mosi tidak percaya terhadap pimpinan DPR, yang dikuasai partai
politik anggota Koalisi Merah Putih.
Dalam pemilihan pimpinan DPR tandingan oleh
KIH dinilai tidak serius pasalnya Pramono Anung yang disebut-sebut sebagai
calon pimpinan DPR versi KIH enggan menyetujui pencalonan dirinya tersebut. Ini
mengindikasikan bahwa DPR tandingan hanya sebagian dari KIH yang menyetujui,
bukan atas dasar keinginan koalisi secara keseluruhan.
Selain penolakan oleh Pramono Anung, Wakil
Presiden Jusuf Kalla pun secara tegas menyatakan bahwa dirinya tidak merestui
adanya pimpinan DPR tandingan. JK berharap KIH segera menghentikan segala
bentuk pergerakan terkait DPR tandingan ini.
Dalam hasil riset Lingkaran Survey Indonesi
(LSI) terhadap DPR tandingan ini, sebesar 61,2% masyarakat menyatakan DPR
tandingan sebaiknya membubarkan diri dan
22,95% masyarakat menginginkan sebaliknya.[2]
Ini mengindikasikan bahwa masyarakat sangat tidak setuju dengan adanya DPR
tandingan ini yang mana bukan lagi menjunjung asas demokrasi dan mementingkan
kepentingan umum, tetapi yang ada hanya ambisi kelompok yang kalah untuk merebut
kembali kekuasaan atau setidaknya bisa mencicipi kursi pimpinan AKD. Dengan
begitu kinerja DPR yang seharusnya sudah berjalan hampir 3 bulan ini bisa lebih
ditingkatkan sesuai dengan motto Presiden Jokowi “Kerja, Kerja, Kerja!”, bukan
hanya sekedar meributkan masalah pembagian kursi yang tidak kunjung menemui
titik temu.
Ada tiga alasan utama mengapa masyarakat ingin
DPR versi KIH ini bubar. Pertama, munculnya DPR tandingan ini menjadi hal yang
buruk bagi kehidupan perpolitikan di Indonesia yang menganut sistem demokrasi.
Kedua, kemunculan DPR tandingan ini akan merusak struktur kerja DPR. Fungsi dan
tugas yang merupakan kewajiban anggota DPR otomatis tidak dapat dilaksanakan
sehingga dengan terhambatnya kinerja DPR ini akan berdampak pula terhadap kinerja
pemerintahan Jokowi. Terakhir, DPR tandingan ini muncul bukan berdasarkan
kepentingan umum, melainkan untuk kepentingan segelintir partai (KIH) akibat
kalah bertarung di parlemen.
[1]
http://www.konfrontasi.com/content/nasional/terkait-dpr-tandingan-pengamat-tindakan-kih-ini-kontraproduktif
-dengan-komitmen
diakses pada 15 Desember 2014.
[2] http://www.tribunnews.com/nasional/2014/11/06/alasan-masyarakat-ingin-dpr-tandingan-bubar diakses pada tanggal 15 Desember 2014.
0 comments:
Post a Comment