Rasisme berasal dari kata "race” yang berarti ras, bangsa atau
keturunan. Racism is prejudice or
discrimination against other people because of their race or because of what is
thought to be their race, their biology or ancestry or physical appearance.[1]
Rasisme adalah prasangka atau
diskriminasi terhadap orang lain karena ras mereka atau karena apa yang
dianggap ras, biologi atau keturunan atau penampilan fisik mereka. Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia rasisme diartikan sebagai
paham yang menerapkan penggolongan atau pembedaan ciri-ciri fisik (seperti
warna kulit) dalam masyarakat. Rasisme juga bisa diartikan sebagai paham
diskriminasi suku, agama, ras, golongan ataupun ciri-ciri fisik umum untuk
tujuan tertentu. Rasisme bergerak dari pengandaian dasar, bahwa karakter
seseorang amat ditentukan dari unsur-unsur biologis yang lahir bersamanya. Dari
pandangan ini, maka masyarakat perlu dipisahkan antara satu ras yang lebih
unggul, dan ras lainnya yang dianggap lebih rendah.
Rasisme berpijak pada pengandaian, bahwa manusia
itu berbeda secara biologis dan ontologis, dan perbedaan itu lalu melahirkan
tingkat-tingkat sosial di dalam masyarakat, antara satu ras dan ras lainnya. Sejarah
menunjukkan bahwa rasisme sudah sangat berbahaya hingga berujung pada perang
dan pembantaian bangsa lain. Seperti Rasisme seorang Hitler yang merasa
keturunan Aria adalah ras paling superior di dunia, terutama terhadap bangsa
Yahudi, yang berujung pada Perang Dunia II.
Secara metafisis, setiap manusia adalah person.
Ia adalah kumpulan dari beragam jaringan sosial, kultural, dan biologis, yang
kemudian membentuk satu entitas metafisis yang unik, yang bernama manusia.
Secara epistemologis, setiap manusia adalah mahluk yang berusaha mengetahui apa
yang benar di dalam dunia. Dengan seluruh keberadaannya, termasuk rasa dan akal
budinya, manusia mencerap dunia, dan berusaha memperoleh pengetahuan yang
benar. Secara etis, manusia juga selalu mencari apa yang baik. Dengan kata lain,
kita merindukan untuk hidup dengan baik, dengan segala kekurangan dan
ketidaktahuan kita. Secara politis, setiap manusia terdorong untuk hidup
bersama dengan manusia lainnya. Ada beragam alasan yang mendorong tindakan itu.
Akan tetapi, penelitian sejarah membuktikan dengan jelas, bahwa komunitas
politik adalah fenomena universal sejarah manusia. Secara biologis, kita juga
sudah membuktikan, bagaimana anatomi manusia itu tidak sungguh berbeda antar
ras yang satu dan ras lainnya, dan bagaimana unsur biologis tidak menjadi
penentu utama karakter dan kualitas pribadi seseorang.
Jika kita menelusuri pandangan ini, kita bisa
membuat kesimpulan, bahwa rasisme itu, pada dasarnya, tidak mungkin. Tidak ada
alasan yang cukup kuat, yang mendorong orang untuk bertindak rasis terhadap
orang lainnya, karena setiap manusia, apapun latar belakang kultural maupun
biologisnya, pada dasarnya, adalah sama, karena merindukan hal yang sama, dan
berasal dari titik yang juga sama. Penyebab rasisme adalah kesalahan berpikir
dan kehendak jahat. Sayangnya, seringkali, kesalahan berpikir dan kehendak
jahat membuat kita mampu melakukan hal-hal yang “tak mungkin dan keji”. Salah
satu contoh paling nyata dari tindakan rasisme adalah politik apartheid di
Afrika Selatan, yaitu kebijakan yang menyangkut pelayanan penduduk dengan
mengutamakan golongan kulit putih dan menindas golongan kulit hitam.
Rasisme di
Indonesia
Indonesia adalah Negara hukum hal ini tertuang
dalam Pasal 1 ayat 2 Konstitusi. Dalam negara hukum setidaknya terdapat
demokrasi, hak asasi manusia, undang-undang dalam menjalankan pemerintahan,
penjaminan hak-hak, pembagian kekuasaan, dan lain sebagainya. Untuk mewujudkan
Negara hukum memerlukan kebersamaan dan toleransi yang intensif lagi
komprehensif dari semua kalangan. Tidak bisa kita pungkiri, bahwa Indonesia
adalah Negara pluralist, yang di dalamnya terdapat banyak suku, agama, ras, dan
budaya. Semua itu telah pun diantisipasi oleh pendahulu Bangsa kita, mereka
menampung keberagaman itu dengan Bhineka Tunggal Ika. Pondasi dan wadah yang
dibangun oleh para pengukir sejarah demokrasi yang terhormat ini seharusnya
selalu menjadi dasar bagi kita untuk bertindak, apalagi jika tindakan itu
berhubungan langsung dengan publik.
Pada dasarnya rasisme di Indonesia ini merupakan
idealisme dari ajaran peninggalan kaum penjajah dahulu semasa penjajahan di
Indonesia. Ironisnya, kini kita sudah dijajah kembali oleh ideologi peninggalan
kaum penjajah artinya kita telah dijajah dengan pemahaman kita sendiri, tentang
bagaimana kita hidup bersama, tentang bagaimana kita menjalankan keyakinan
Agama kita masing-masing, tentang bagaimana kita memandang orang lain, tentang
bagaimana kita bergaul dengan orang lain, tentang bagaimana kita belajar, dsb.
Rasisme dapat muncul dalam berbagai bentuk, misalnya
lelucon atau komentar yang menyakitkan; ejekan atau penghinaan verbal,
pelecehan atau intimidasi, atau komentar di media atau secara daring (online)
yang meningkatkan ketidaksukaan terhadap kelompok tertentu. Dalam keadaan yang
parah, rasisme dapat mengakibatkan tindakan kekerasan dan pelecehan fisik.
Rasisme dapat menghalangi orang untuk mengakses layanan atau berpartisipasi
dalam pekerjaan, pendidikan, olah raga dan kegiatan sosial. Rasisme juga bisa
muncul di tingkat institusi melalui kebijakan atau praktik yang merugikan
kelompok tertentu. Rasisme akan mengakibatkan ketidakadilan akses ke peluang,
sumber daya atau kekuasaan bagi orang yang berasal dari ras berbeda.
Kepercayaan bahwa ada ras tertentu yang lebih rendah atau tinggi terhadap yang
lainnya terkadang digunakan untuk membenarkan ketidakadilan ini.
Seperti contoh kasus farhat abbas yang mengkritik
Wagub DKI Jakarta, Basuki Tjahya Purnama (Ahok), dengan menyebut etnis Cina
terkait masalah plat nomor kendaraan. Kritik tersebut menuai banyak kecaman
dari berbagai pihak. Seharusnya kritik di sampaikan secara baik terlebih jika
melihat profesinya yaitu pengacara yang mana di kenal istilah etika
professional dan tanggung jawab.
Isu rasisme juga berdampak kepada eksklusi sosial
kepada orang atau kelompok tertentu. Dimana orang atau kelompok tertentu
tersebut menjadi terbatas aksesnya akibat isu rasisme. Sehingga bisa dikatakan
bahwa isu rasisme hanya akan menjadi hal yang serius jikalau telah membatasi
akses seseorang atau kelompok tertentu.
[1]
Kevin Reilly, Stephen Kaufman dan Angela Bodino, Racism: A Global Reader (New York:
M.E. Sharpe, 2003), h. 15.
0 comments:
Post a Comment