Orde Baru sebagai satu babakan sejarah dari mata rantai sejarah Indonesia tidaklah luput dari filosofi sejarah pada umumnya, yakni berada pada kisaran hukum refleksi, dan interaksi dialeksi. Lahirnya orde Baru di pertengahan tahun 1966 yang kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai orde pembangunan, telah membawa perubahan di hampir semua bidang kehidupan bangsa, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya. Dalam Pemilu pertama sejak Orde Baru yang berlangsung pada tahun 1971, partai-partai Islam hanya mendapatkan suara sekitar 29% dan Perti hanya 0,7%. Sedangkan Golkar memperoleh suara 62,8%, PNI 6,4%, Perkindo dan Partai Katholik 2,45%.
Pada tahun 1973, dilakukan kebijakan
penyederhanaan partai melalui fusi, dari 10 partai menjadi 3 partai, yakni
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan gabungan dari partai-partai
Islam seperti NU, Permusi, PSII dan Perti. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
yang merupakan gabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katholik, Murba, dan IPKI.
Serta satu Golongan Karya (Golkar). Fusi bukanlah ide dari pemimpin partai,
melainkan berasal dari pemerintah. Dan meskipun para pemimpin partai dari
keempat partai tersebut sudah bersepakat untuk meleburkan diri dalam sebuah
partai yang disebut atau diberi nama PPP, namun latar belakang kulturalnya yang
berbeda tetap menjadi faktor potensial bagi perpecahan, sebagaimana yang pernah
terjadi pada masa lalu, yakni ketika PSII yang kemudian disusul oleh NU
memisahkan diri dari Masyumi.
Menjelang
Pemilu tahun 1982, semakin nampak perbedaan yang tajam antara unsur-unsur di
dalam tubuh PPP. Faktor utama penyebabnya, karena J. Naro yang menggeser
calon-calon dari golongan NU dalam daftar calon anggota DPR. Sikap yang membawa
kekacauan dalam tubuh partai politik ini telah mengakibatkan berkurangnya
jumlah kursi PPP di DPR yakni sebanyak 6 kursi dibandingkan dari jumlah kursi
yang diperoleh pada tahun 1977 yang memperoleh 99 kursi. Sejak inilah PPP
berada dalam posisi yang semakin tidak menentu dengan adanya sikap otoriter
yang ditampilkan J. Naro terhadap setiap pimpinan partai yang berbeda
dengannya. Bukan itu saja, sikap otoriter itu juga diterapkan terhadap mereka
yang berasal dari golongan yang sama dengan dirinya (Permusi). Sikap ini
berdampak tidak menguntungkan partai, yang dapat dilihat dari hasil Pemilu
tahun 1987 dengan perolehan PPP hanya 61 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Jadi meskipun pada awalnya Orde Baru itu memberikan peluang dan posisi
memungkinkan bagi umat Islam untuk memperkuat dan menentukan sikap politiknya,
namun pada perjalanannya telah dikacaukan oleh munculnya ambisius kelompok dan
pribadi. Makanya orientasi politik dan implementasinya oleh umat Islam telah
menimbulkan konflik internal yang serius, sehingga menyudutkan umat yang
mayoritas menjadi veriferian dalam percaturan pembangunan secara nasional.
Gerakan
pemahaman Islam secara kritis dan empirik terjadi pada awal tahun 70-an pada
saat Nurcholis Madjid melontarkan gagasan “Keharusan Pembaharuan Pemikiran
Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dengan peran media yang demikian intens,
gagasan itu tersebar dengan cepat dan menyentak suasana yang telah terkondisi.
Wajarlah jika reaksi dari berbagai kalangan segera bermunculan baik yang pro
dan kontra. Muatan isi yang ditonjolkan oleh pemikiran baru itu adalah seputar
liberalisasi pandangan, sekularisasi, kebebasan berpikir, idea of progress,
inklusifisme, pemisahan Islam sebagai nilai dan partai Islam sebagai alat.
Secara
substansial gerakan itu telah menawarkan landasan-landasan dasar dalam kerangka
mengembalikan daya gerak psikologis (psycholo-striking force) umat Islam
melalui titik pandang yang realistic dan tidak apologetik. Arah yang menjadi
bidikannya paling tidak tercermin pada analisis bahwa supaya umat Islam tidak
dapat mengenali dan mengarahkan gejala-gejala modernitas, tidak terasing dari
padanya dan tidak lagi berada pada posisi marginal dalam dinamika pembangunan,
khususnya ikut dan melakukan pengambilan kebijakan politik bangsa. Untuk ke
arah itu diperlukan prasyarat dasar berupa pembenahan—kalau tidak perombakan
pola-pola pandang, kebebasan berpikir, keterbukaan sikap dan meletakkan Islam
menjadi membumi sebagai sistem nilai.
Islam di Era Reformasi
Sejalan
dengan adanya pembaharuan pemikiran, telah terjadi pula perubahan orientasi
organisasi dari para pemimpin Islam. Sebelumnya format perjuangan Islam lebih
difokuskan melalui jalur politik, dalam perkembangan selanjutnya format
perjuangan meliputi bidang yang lebih luas dan konkrit, terutama upaya-upaya
untuk membebaskan umat Islam dari kebodohan dan kemiskinan. Dahulu ormas-ormas
Islam dengan segenap underbow-nya lebih berperan sebagai penggalang masa
dan pemimpinnya berorientasi pada politik praktis seperti menjadi anggota DPR,
dan kalau bergerak di bidang pendidikan atau sosial misalnya itupun hanya
terbatas, maka pada saat ini ormas-ormas itu berperan untuk membina umat dalam
bidang yang lebih luas.
Pada
era reformasi, terdapat banyak partai Islam atau partai yang berbasis dukungan
umat Islam, seperti Partai Persatuan Pembangnunan (PPP), Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII), Partai Umat Islam (PUI), Partai Masyumi Baru, Partai Bulan
Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Nahdhatul Ummat (PNU), Partai
Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan yang lainnya. Fenomena
maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan
refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam.
Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah eforia politik yang tidak
terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang
memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan
berkelompok yang selama 30 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut
sentralistik.
Dimensi kultural pada berbagai
kelompok Islam mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam kehidupan politik. Oleh
karena itu, penggabungan partai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris
menjadi utopia. Eksperimen pada masa Orde Baru melalui fusi beberapa
partai Islam nyatanya belum sepenuhnya berhasil mengkristalkan kepentingan
unsur-unsur yang bersatu. Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil
mencapai efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut
Allan A. Samson adalah kepemimpinan. Kepemimpiman partai politik belum mampu
memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat Islam.
Kenyataan di atas
mengidentifikasikan bahwa tantangan yang dihadapi umat Islam semakin variatif,
baik yang bersifat internal maupun eksternal. Sementara persoalan-persoalan
traumatis pun belum dapat dihilangkan seluruhnya yang merupakan benturan antara
tradisionalisme dan modernisme, antara ikatan-ikatan keagamaan dan kebangsaan,
dan antara santri dan abangan. Tantangan eksternal yang tak bisa dielakkan
adalah cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang kuat
pengaruhnya terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang semakin
sekular.
Eksistensi Islam di Indonesia
sangat ditentukan oleh kondisi objektif yang dibangun umat Islam itu sendiri
melalui kualifikasi dan kapasitas politik yang berwawasan pembentukan
intelektualitas umatnya. Kondisi umat Islam dewasa ini memang telah mengalami
kemajuan, namun secara institusi politik telah mengalami kemunduran. Oleh
karena itu, membicarakan persoalan Islam dan politik dirasakan semakin urgen
oleh umat Islam itu sendiri. Rekayasa pembicaraan dan implementasinya meliputi
pemahaman Islam doktrinal yang kontekstual dengan pertumbuhan politik bangsa,
sistem pembinaan yang dapat membebaskan umat dari keterbelakangan material
maupun spiritual, serta kepemimpinan yang tidak saja kharismatik, melainkan
juga dedikatif dan profesional. Dengan demikian, keberadaan Islam akan dapat
memberi arti bagi pertumbuhan bangsa, paling tidak bagi pemeluknya, atau dengan
istilah al-Qur’an adalah Rahmatan lil
‘alamin.
Referensi:
- Ma’arif, Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES.
- Ma’arif, Ahmad Syafi’i. 1996. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. Jakarta: Gema Insani Press.
- Madjid, Nurcholis. 1987. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.
- Noer, Deliar. 2000. Mengapa Partai Islam Kalah?: Perjalanan Politik Islam dari Pra Pemilu '99 Sampai Pemilihan Presiden. Jakarta: Alvabet.
- Rais, M. Dhiauddin. 2001. Teori Politik Islam. Kairo: Maktabah Darut Turaats.
0 comments:
Post a Comment