Penggunaan kata terror atau
kekerasan tidak langsung merupakan terorisme, karena terror bisa dilakukan
untuk mencapai tujuan personal dan kriminal. Terorisme adalah penggunaan terror
sebagai simbolis yang dirancang untuk memepengaruhi kebijaksanaan dan tingkah
laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya penggunaan atau ancaman
dengan kekerasan. Jadi terror dapat di bedakan ke dalam dua kategori, enforcement
terror yaitu yang dijalalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadapt
kekuasaan mereka, agitational terror yaitu yang dilakukan mereka yang ingin
mengganggu tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik itu.[1]
Terorisme sebagai proses terror yang
mempunyai tiga unsur, yaitu tindakan atau ancaman kekerasan, reaksi emosional
terhadap ketakutan yang amat sangat dari pihak korban, dan dampak sosial yang
mengikuti kekerasan dan rasa ketakutan yang muncul kemudian. Terorisme dapat
dibedakan ke dalam empat jenis terorisme:[2]
- Terorisme kriminal, yaitu penggunaan terror secara sistemaatis untuk mencapai tujuan-tujuan material.
- Terorisme psikis, yaitu mempunya tujuan-tujuan yang magis, keagamaan atau mistik.
- Terorisme perang, yaitu bertujuan melumpuhkan lawan, menghacurkan pertahanan dan kekuatan bertarung lawan.
- Terorisme politik, yaitu penggunaan ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Kemudian dibedakan lagi antara terror politik dengan terorisme politik:
- Terror politik, terjadi dalam tindakan terpisah dan juga dalam bentuk kekerasan masal yang luar biasa, tanpa pandang bulu. Terror semacam ini sulit dikontrol karena tidak sistematis dan tidak terorganisasi.
- Terorisme politik, kebijaksanaan berkelanjutan yang melibatkan penggunaan terror terorganisasi yang dilakukan oleh negara atau organisasi atau kelompok-kelompok. Terrorisme sistematis karena mencakup struktur organisasi dan semacam teori atau ideology terror.
Terorisme Dalam
Prespektif Islam
Pengasosiasikan jihad dengan
terorisme pada masa kini tak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa jihad dalam
pergerakannya melibatkan elemen-elemen kekerasan yang dapat dikategorikan
sebagai terorisme. Tetapi jelas, penggunaan kekerasan atas nama agama di masa
ini sebenarnya lebih banyak disebabkan factor-faktor politik, yang kemudian
dicarikan legitimasinya dalam ajaran-ajaran agama. Ada esensial yang membedakan
antara terorisme dan radikalisme. Jika terorisme hanya merupakan salah satu
kebijakan instrument dari para pelakunya, sedangkan radikalisme adalah esensi
dari kebijaksanaan itu sendiri. Radikalisme mencakup nilai-nilai, tujuan dan
concern dari orang-orang yang merumuskan kebijaksanaan itu sendiri. Istilah
radikal mengacu kepada gagasan-gagasan dan tindakan kelompok yang bergerak
untuk menumbangkan tatanan politik mapan, negara atau rezim yang bertujuan
untuk melemahkan otoritas polituk atau legitimasi negara-negara dan rezim-rezim
lain, dan negara-negara yang berusaha menyesuaikan atau mengubah
hubungan-hubungan kekuasaan yang ada dalam sistem internasional.[3]
Terorisme
sebagai kekerasan politik sepenuhnya bertentangan dengan etos kemanusiaan
islam. Islam mengajarkan etos kemanusiaan al-ukhuwah al-insaniyah (kemanusiaan
yang universal). Islam menganjurkan umatnya untuk berjuang mewujudkan
perdamaian, keadilan dan kehormatan. Akan tetapi, perjuangan tidak di benarkan
dengan cara kekerasan. Islam menganjurkan dan memberikan justifikasi kepada
muslimm untuk berjuang, berperang (harb) dan menggunakan kekerasan (qital)
terhadap para penindas, musuh-musuh islam dan pihak di luar islam yang
menunjukkan sikap bermusuhan dengan kaum muslimin. Dengan demikian, tindakan
kekerasan terhadap individu merupakan tindakan yang tidak bermoral.[4]
Ada kewajiban muslimin untuk
menegakkan kebajikan dan melawan kemungkaran (amar ma’rif nahy munkar). Banyak
cara untuk melakukan kewajiban ini, tapi jelas bahwa penggunaan kekerasan
merupakan tindakan kriminal. Orang beriman dianjurkan untuk tetap
mempertahankan keimanan mereka dan agar selalu berada dalam jalan yang benar
serta sekaligus sabar menghadapi penindasan, ketidakadilan dan kekerasan. Dalam
hal ini, Al-Quran tidak diperbolehkan penggunaan kekerasan untuk pembalasan dan
peperangan. Tetapi tetap dengan usaha-usaha perdamaian.
Jihad dalam konsep islam merupakan bellum
justum (perang untuk keadilan) dan bellum pium (perang untuk kesalehan). Jihad
dalam pengertian perang sering diasosiasikan atau di identikkan Barat dengan
tindakan terror dan terorisme. Sejauhmana jihad dapat berubah menjadi terror
dan terorisme, sebenarnya dapat dilihat dari justifikasi moral tindakan jihad
itu sendiri, serta kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan aspek-aspek dalam
ajaran islam. Sebagaimana arti jihad itu sendiri sangat luas. Jihad terbagi
menjadi dua, yaitu jihad melawan hawa nafsu yang ada di dalam diri setiap
muslim, dan jihad untuk berperang melawan musuh-musuh islam.[5]
Usaha-usaha memerangi terorisme
dalam bentuk apapun seharusnya tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan,
seperti yang terjadi dalam krisis Amerika-Afghanistan. Cara-cara seperti itu
bukan hanya merupakan suatu bentuk terror khususnya terhadap warga sipil yang
tidak tahu apa-apa bahkan akan menciptakan “circle of terrorism” dan dengan
demikian , akan gagal melenyapkan terror dan terorisme.[6]
[1] Azumardi
Azra, Pergolakan Politik Islam: dari
Fundamentalis, Modernisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina,
1996), h. 143.
[2]
Ibid, h. 145.
[3]
Ibid, h. 147.
[4]
Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar
Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralitas (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002), h. 80.
[5]
Ibid, h. 81.
[6] Ibid,
h. 82.
0 comments:
Post a Comment