Menurut Miriam Budiardjo,[1]
partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih
pimpinan Negara dan, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi kebijakan
pemerintah (public policy). Dengan demikian Partisipasi politik erat kaitanya
dengan kesadaran politik, karena semakin sadar bahwa dirinya diperintah, orang
kemudian menuntut diberikan hak bersuara dalam penyelenggaraan pemerintah.
Partisipasi politik pada dasarnya
sebagai suatu bentuk keikutsertaan warga negara,
baik langsung ataupun tidak langsung, dalam menentukan segala keputusan yang
menyangkut atau mempengaruhi hidupnya, termasuk memilih para wakil yang
akan duduk di pemerintahan. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses
politik, misalnya melalui pemberian suara dalam pemilu atau kegiatan lain,
terdorong keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka akan
tersalur atau sekurang-kurangnya diperhatikan.
Di Indonesia berpartisipasi politik
dijamin oleh negara, tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi
“kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dan diatur secara jelas dalam
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan
politik, dimana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh Negara mengenai hak
berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum
dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan.
Tingkat partisipasi masyarakat
Indonesia dalam berpolitik, bila parameter yang
digunakan adalah partisipasi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya dengan
cara mendatangi bilik-bilik suara dalam pelaksanaan pemilihan umum, relatif
cukup tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang tidak menggunakan hak
pilihnya. Dalam pemilu 2009,[2]
jumlah masyarakat yang memilih sebesar 70,99% , sedangkan masyarakat yang tidak
memilih sebesar 29,01%.
Masih tingginya tingkat partisipasi
masyarakat tersebut tidak terlepas dari faktor sosialisasi politik yang gencar
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menumbuhkan partisipasi
politik masyarakat (participation socialization) dengan cara mengedukasi masyarakat mengenai Pemilihan Umum,
baik itu lewat iklan di media cetak ataupun di
media elektronik, atau melalui penyuluhan langsung ke berbagai tempat oleh para
petugas lapangan dalam mensosialisasikan penyelenggaraan Pemilihan Umum yang
akan dihajatkannya. Ditambah lagi sosialisasi politik yang juga dilakukan oleh
partai politik kontestan pemilu legislatif dalam mensosialisasikan keikutsertaannya
terhadap para konstituennya dalam rangka menanamkan nilai-nilai atau objek
politik partainya, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pembentukan struktur
berpolitik para konstituennya dengan
menggunakan media iklan, baik cetak maupun elektronik, pemasangan baliho,
spanduk, plakat, dll.
Pada prinsipnya, partisipasi politik
masyarakat dalam mengambil keputusan politiknya harus lahir dari hati nuraninya
sendiri, karena yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi dirinya adalah
dirinya sendiri. Namun dalam kenyataannya, tidak sedikit kasus partisipasi
politik seseorang atau sekelompok orang diintimidasi dan digiring untuk
menuruti partisipasi politik orang lain. Seperti money politic dengan
maksud membeli suara politik masyarakat. Hal-hal tersebut telah mencederai
prinsip dari demokrasi, dimana prinsip dari, oleh dan untuk
rakyat, telah dirusak oleh sebagian oknum partisipan politik berkuasa yang
membelenggu kebebasan berpolitik untuk rakyatnya. Otonomi atau kemandirian
berpolitik yang mestinya menjadi hak setiap warga negara telah dirampas oleh
kediktatoran para birokrat yang anti demokrasi, dengan menjadikannya sebagai
alat melegitimasi kekuasaan.
Semakin
tingginya angka Golongan Putih (Golput) pada pemilu-pemilu yang lalu dapat
dijadikan sinyal awal akan adanya skepstisme dan apatisme terhadap partai
politik. Sinyal ini diperkuat dengan temuan Lembaga Survei Indonesia
bahwa kecenderungan partisipasi politik menurun dari satu Pemilu ke
Pemilu lainnya dan ancaman tingginya Golput pada Pemilu 2014
Dalam Republika Online,[3] Lembaga
Survei Indonesia (LSI) memperkirakan tingkat partisipasi pemilih yang
menggunakan hak suaranya pada pemilu legislatif akan terus menurun dan bisa
sampai kurang dari 50 persen. Penurunan tingkat partisipasi masyarakat pada
pemilu legislatif disebabkan tingkat kepercayaan terhadap partai politik terus menurun. Tingkat partisipasi pemilih pada pemilu
1999 sebesar 93,3 persen, pada pemilu 2004 turun menjadi 84,9 persen, kemudian
pada pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99 persen. Hanya sekitar 20 persen yang
loyal dan menyatakan dekat dengan partai politik secara keseluruhan. Selebihnya
menyatakan tidak dekat dengan partai atau massa mengambang.
Dalam rangka
meningkatkan kepercayaan masayarakat kepada partai, ada tiga pokok pikiran yang dapat dilakukan
untuk menarik simpati masyarakat:[4]
- Partama, partai-partai yang sudah mengirim wakilnya di DPR seharunya melakukan evaluasi individual kepada kadernya yang ditempatkan di DPR. Harus diingat bahwa keberadaan mereka di legilatif tidak semata-mata atas usaha mereka pribadi melainkan karena dicalonkan oleh partai, dan membawa mandat partai dan rakyat. Evaluasi itu dipusatkan kepada sejauhmana mereka berhasil menjalankan fungsinya sebagai anggota legislatif. Kader–kader yang dinilai berhasil, dicalonkan kembali pada Pemilu berikutnya, kader-kader yang gagal sebaiknya tidak dicalonkan lagi dan diganti dengan kader yang baru yang mempunyai potensi kualitas yang baik.
- Kedua, standar rekrutmen para caleg seharusnya ditingkatkan dari hanya sekadar parameter yang bertumpu kepada popularitas “semu” dan kemampuan finasial para caleg, menjadi parameter-parameter kapasitas kepemimpinan seorang caleg dan kemampuan mereka dalam menjalan fungsinya sebagai anggota legislatif dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebagai contoh sejalan dengan parameter ini, partai harus memprioritaskan seorang pimpinan masyarakat, komunitas, pekerja sosial yang sudah lama mengabdi dan terbukti keberhasilannya daripada seorang artis popular yang dikenal oleh masayarakat karena banyolannya atau seorang saudagar yang hanya dikenal karena banyak uangnya tapi belum terbukti pengabdiannya kepada rakyat.
- Ketiga, partai seharusnya melanjutkan penelusuran latar belakang para calon legislatif (Political Tracking ) yang dulu awal-awal reformasi telah dirintis oleh kelompok masyarakat sipil yang juga mengkapanyekan penolakan terhadap Politisi Busuk. Penelusuran ini penting untuk mengetahui latar belakang calon dan untuk menilai apakah calon tersebut pantas dan tidak mempunyai potensi untuk menimbulkan masalah di kemudian hari.
[1]
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu
Politik (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 367.
[2]
Dilansir dari www.kpu.go.id.
[3] http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/05/30/llyvoi-partisipasi-politik-pemilu-2014-akan-kurang-dari-50-persen
[4]
Dilansir dari http://satuharapan.com/index.php?id=109&tx_ttnews[tt_news]=1068&cHash=1
0 comments:
Post a Comment