Selama ini, lebih dari 90% kebutuhan energy di dunia di pasok dari bahan bakar fosil. Oil and Gas Journal memperkirakan pada awal tahun 2004 cadangan minyak sebesar 1.27 triliun barrel dan untuk gas alam sebesar 6.100 triliun kaki kubik. Dua laporan dari Congressional Research Service (CSR), yaitu tahun 1985 dan 2003 menyebutkan bahwa jika tidak ada perubahan pola pemakaian, cadangan minyak bumi hanya cukup untuk 30-50 tahun lagi.[2]
World
Energy Council (WEC, Dewan Energi Dunia), suatu organisasi besar yang
mencakup sebagian besar lembaga energi swasta dan pemerintah di dunia,
mengadakan World Energy Congress (Kongress Energi Sedunia) setiap tiga tahun
sekali. Dalam kongres ini, telah disiapkan suatu penilaian tentang tren energy
masa depan. Tahun 1993, sesudah dua tahun riset yang melibatkan 500 ahli dan 9
tim regional, meramalkan kenaikan dalam pemaikaian minyak dunia sebesar
kira-kira 60% menjelang tahun 2020 dan batubara yang dua kali lipat. WEC memimpikan
dasar garis besar dari sistem energi dewasa ini yang sebagian besar tetap tidak
berubah untuk abad-abad mendatang.[3]
Negara-negara berkembang kini
mempunyai rata-rata pemakaian energy hanya seperlima dari tingkat konsumsi
energy di Eropa, namun dengan cepat membangun pabrik pabrik, gedung-gedung, dan
sistem transportasi yang menggunakan bahan bakar fosil. Manusia dulunya
mengandalkan bahan bakar padat, dari kayu ke batu bara, dan kemudian mulai
bergeser lagi ke minyak cair di awal abad ini. Dalam dekade terakhir,
berkembang tren baru, ketika gas alam mulai menggantikan bahan bakar cair dan
padat pada banyak lapangan penerapan. Pergeseran ke gas ini sebenarnya
kelanjutan tren jangka panjang ke bahan bakar efisien, semakin kurang padat
karbonnya, bagian dari dekarbonisasi sistem energy dunia.
Meskipun sudah tersedia tanah, bahan
bakar dan teknologi yang mencukupi untuk mendukung masa depan yang
berkesinambungan, masih ada masalah penting mengenai peran negara maju dan berkembang
yang terkait selama peralihan. Negara-negara berkembang, dengan lebih dari ¾
penduduk dunia, hanya bertanggung jawab atas 1/5 dari karbon dioksida yang
dilepaskan ke atmosfer selama abad yang silam, angka yang hanya naik sampai 33%
di tahun-tahun belakangan ini. Meskipun emisi rata-rata per kapita negara
industry 10 kali lipat dari negara berkembang, namun begitu negara berkembang
ini melakukan industrialisasai, mereka akan menjadi pusat untuk dari pada
pengaruhnya terhadap iklim. Reaksi atas krisis iklim yang serius mungkin saja
lebih cepat. Dunia telah meletakkan dasar kebijakan dan teknis untuk sistem
energy baru dua dekade terakhir. Dengan tekanan politik secukupnya, dunia dapat
mempercepat proses perubahan secara dramatic.
Pada KTT Bumi di Rio De Janeiro
1992, disepakati dua perjanjian yang sangat gemilang salah satunya adalah
“Framework Convention on Climate Change” (Kerangka Konvensi tentang Perubahan
Iklim), yang mengikat masyarakat dunia pada sasaran yaitu membawa stabilitas
pada atmosfer global. Perubahan kebijakan antara lain pertama mengurangi subsidi untuk bahan bakar fosil dan menaikkan
pajak atas bahan bakar itu untuk mencerminkan biaya lingkungan, kedua mengarahkan kembali pengeluaran
biaya riset dan pengembangan untuk memusatkan kepada teknologi energy baru yang
penting, ketiga mempercepat investasi
dalam alat-alat baru, dan keempat
menyalurkan bantuan energy internasional ke negara berkembang.[4]
Dibanyak tempat, diperlukan
pemberdayaan lebih besar pada pada pasar yang mengasumsi keterlibatan langsung
pemerintah, meskipun dalam beberapa kasus, pemerintah perlu menetapkan
peraturan-peraturan, memusatkan perhatian kepada cara-cara untuk menjamin bahwa
lingkungan itu ikut dipertimbangkan bila mengambil keputusan ekonomi
[1] http://green.kompasiana.com/iklim/2012/11/26/sekilas-tentang-permasalahan-energi-dunia-511867.html.
Artikel di akses pada tanggal 23 Maret 2014.
[2]
Rama Prihandana dan Roy Handroko, Energi
Hijau (Jakarta: Penebar Swadaya, 2008), h. 16-17.
[3] Christopher
Flavin dan Nicholas Lenssen, Gelombang
Revolusi Energi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), h.324-327.
[4] Ibid, h. 355-357.
0 comments:
Post a Comment